Abdul Harris Nasution

Jenderal Besar TNI Purn. Abdul Harris Nasution (lahir di Kotanopan, Sumatera Utara, 3 Desember 1918 – meninggal di Jakarta, 6 September 2000 pada umur 81 tahun) adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang merupakan salah satu tokoh yang menjadi sasaran dalam peristiwa Gerakan 30 September, namun yang menjadi korban adalah putrinya Ade Irma Suryani Nasution.

Karir Militer

Sebagai seorang tokoh militer, Nasution sangat dikenal sebagai ahli perang gerilya. Pak Nas demikian sebutannya dikenal juga sebagai penggagas dwifungsi ABRI. Orde Baru yang ikut didirikannya (walaupun ia hanya sesaat saja berperan di dalamnya) telah menafsirkan konsep dwifungsi itu ke dalam peran ganda militer yang sangat represif dan eksesif. Selain konsep dwifungsi ABRI, ia juga dikenal sebagai peletak dasar perang gerilya. Gagasan perang gerilya dituangkan dalam bukunya yang fenomenal, Strategy of Guerrilla Warfare. Selain diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, karya itu menjadi buku wajib akademi militer di sejumlah negara, termasuk sekolah elite militer dunia, West Point, Amerika Serikat.

Tahun 1940, ketika Belanda membuka sekolah perwira cadangan bagi pemuda Indonesia, ia ikut mendaftar. Ia kemudian menjadi pembantu letnan di Surabaya. Pada 1942, ia mengalami pertempuran pertamanya saat melawan Jepang di Surabaya. Setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II, Nasution bersama para pemuda eks-PETA mendirikan Badan Keamanan Rakyat. Pada Maret 1946, ia diangkat menjadi Panglima Divisi III/Priangan. Mei 1946, ia dilantik Presiden Soekarno sebagai Panglima Divisi Siliwangi. Pada Februari 1948, ia menjadi Wakil Panglima Besar TNI (orang kedua setelah Jendral Soedirman). Sebulan kemudian jabatan “Wapangsar” dihapus dan ia ditunjuk menjadi Kepala Staf Operasi Markas Besar Angkatan Perang RI. Di penghujung tahun 1949, ia diangkat menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat.

Gelar

Pada 5 Oktober 1997, bertepatan dengan hari ABRI, Nasution dianugerahi pangkat Jendral Besar bintang lima. Nasution tutup usia di RS Gatot Soebroto pada 6 September 2000 dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.

Untuk mengetahui sepak terjang Abdul Harris Nasution, berikut wawancara Tempo Interaktif dengan beliau, yang dilakukan tanggal 1 Oktober 1996:

Wawancara Jenderal (Purn) AH Nasution: “Kalau Tak Ada Keadilan Sosial, Siapa Pun Bisa Membuat Aksi”.

PERSIS pada 1 Oktober lalu, TEMPO Interaktif mewawancarai Jenderal (Purn) Abdul Haris Nasution di rumahnya, Jl. Teuku Umar, Jakarta Pusat. Di rumah itu, tepat hari itu 31 tahun lalu, mantan Panglima Angkatan Bersenjata RI dan Ketua MPRS itu lolos dari kepungan sekitar 90 pasukan Cakrabirawa, binaan tokoh PKI, Letkol Untung. “Saya melompat melalui tembok itu ke sebelah, tempat Kedutaan Irak,” ujar Pak Nas menunjuk tembok samping rumahnya setinggi sekitar 2,5 meter. Dia memanjat menara air di sana, dan bersembunyi di baliknya hampir setengah hari. Setelah malam jahanam yang menewaskan anaknya, Ade Irma Suryani Nasution, itu yang datang ke rumahnya bermacam ragam pasukan sehingga, “Tak jelas mana kawan dan mana lawan.” Setelah anak buahnya datang, baru Nasution melompat turun. “Karena berjam-jam jongkok, saya terjun ke bawah seperti batu jatuh. Saya ambruk. Lutut saya ini terkilir dan enam bulan saya harus pakai tongkat,” kata Pak Nas lagi. “Di sebelah sana itu rumahnya Piere (Tendean),” katanya lagi menunjuk rumah di sebelah kediamannya. Piere adalah salah satu korban PKI pada malam 30 September 1965.

Sisa-sisa keganasan pasukan Cakrabirawa itu masih bisa dijumpai di rumah itu. “Itu lihat, lobang peluru dari senjata AK,” katanya menunjuk lobang di kusen pintu ruang makannya. “Mereka berondong saja dari depan karena saya lari lewat lorong ini. Itu senjata sebenarnya masih belum dikeluarkan dari gudang Angkatan Darat, dikirim dari Peking sekitar seratus ribu pucuk,” kata bekas KSAD ini lagi, lalu tertawa.

Pada Toriq Hadad dari TEMPO Interaktif, orang Hutapungkut, Kotanopan, Sumatera Utara, kelahiran 3 Desember 1918, ini bicara banyak sambil sesekali menyeruput jus buah. Pak Nas menanggapi kritik Presiden Soeharto ke alamat para mantan pejabat yang dinilai tak konsisten memegang tekad Orde Baru, soal korupsi, soal konsensus nasional, soal partai politik dan Golkar. Berikut petikannya.


Ada kritik dari Presiden Soeharto, para mantan pejabat ada yang tak konsisten dengan tekad Orde Baru. Komentar Bapak?

Saya sebagai KSAD pernah menyampaikan agar kita kembali ke UUD 45. Waktu itu Soeharto masih letnan kolonel. Setelah saya dipecat oleh Bung Karno, datanglah ke rumah saya Bambang Sugeng yang baru naik pangkat menjadi mayor jenderal, waktu itu saya diperiksa Jaksa Agung untuk kasus Peristiwa 17 Oktober 1952 soal apakah benar saya ini mau kudeta. Bambang Sugeng bilang, “Pak Nas jangan terlalu risau. Saya sudah perintahkan staf di Angkatan Darat supaya adminitrasi–soal gaji, tunjangan, dan fasilitas lain–tidak akan dipotong.” Kesibukan setelah itu adalah menulis beberapa buku yang membuat saya harus minta izin Angkatan Darat untuk mewawancara tokoh-tokoh dari Sabang sampai Merauke. Tapi saya tak mendapat hambatan soal izin dan lainnya. Orang-orang Angkatan Darat itu yang mengurus, dan diantar ke rumah saya. Bahkan ada sumber-sumber yang saya wawancara itu datang sendiri ke rumah ini.

Nah, sekarang ini sudah 21 tahun saya dicekal. Setiap tentara yang datang ke rumah saya harus lapor intel. Pulangnya juga harus melapor ke sana. Soeharto sifatnya memang begitu, karena dia orang Jawa jadi kelihatannya hati-hati betul. Di jaman dulu tidak begitu. Contohnya datangnya Bambang Sugeng (KSAD pengganti Nasution, Red.) tadi. Malah penggerak Peristiwa 17 Oktober, Bambang Supeno, setelah kejadian itu datang pada saya untuk pinjam mobil menjemput mertuanya. Sekarang ini, bekas sopir saya pun kalau datang waktu Lebaran harus sembunyi-sembunyi.

Kepada siapa kritik itu dialamatkan dan apakah memang bekas pejabat tidak konsisten lagi?

Semua, semua kita ini kena karena tidak disebut siapa yang dikritik itu. Petisi 50 memang sudah lama tidak setuju dengan cara pelaksanaan konstitusi yang sekarang.

Catatan:

Peristiwa 17 Oktober 1952 adalah peristiwa di mana KSAD (dijabat Nasution) dan tujuh panglima daerah meminta Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) dibubarkan. Kemal Idris, salah satu dari tujuh panglima, pernah mengarahkan moncong meriam ke Istana–dalihnya melindungi Presiden Soekarno dari demonstrasi mahasiswa. Pemicunya adalah pemilu yang tertunda-tunda yang dianggap hanyalah taktik DPRS (yang didukung Bung Karno) untuk mempertahankan keadaan yang makin parah. Konflik intern militer dan partai-partai menajam, korupsi meluas, dan keadaan keamanan memburuk. Pada 13 Juli 1952, Kolonel Bambang Supeno, orang dekat Bung Karno yang sering keluar-masuk Istana, mengirim surat ke Perdana Menteri Wilopo, Presiden dan DPRS, menyatakan tak mempercayai lagi pimpinan Angkatan Perang, khususnya Angkatan Darat (dipimpin Nasution). Bambang Supeno-lah yang melobi Bung Karno sampai Bambang Sugeng akhirnya mengganti Nasution sebagai KSAD. Nasution dipecat. Tujuh perwira daerah ada yang ditahan dan digeser kedudukannya.

Setelah Insiden 27 Juli di Jakarta, pemerintah mengindikasikan gejala lahirnya kembali komunisme dalam bentuk Partai Rakyat Demokratik, menurut Bapak?

Di koran-koran ucapan saya sudah dimuat. Setelah kejadian 27 Juli, ramai wartawan di depan rumah saya ini. Saya bilang persoalan komunisme tak begitu penting, yang utama adalah kalau tak ada keadilan sosial siapa pun bisa membuat aksi terhadap pemerintah. Itu saya alami ketika saya menjadi Ketua MPRS, saya pergi ke Manila ketika Presiden Marcos berkuasa. Di airport saya disambut Menlu Carlos Romulo. Di situ pers menanyakan kepada saya, “Anda baru saja lolos dari cengkeraman PKI, siapa musuh terbesar Indonesia?” Ketika itu saya sudah jawab, “Ketidakadilan sosial.” Jadi kalau keadilan tidak dijamin, siapa saja bisa mengacau. Di Manila waktu itu sebagian tentara sudah kesusupan komunis, saya didemonstrasi waktu berkunjung ke Istana Malacanang.

Menurut saya, ketidakadilan itu yang menjadi sumber. Dan saya membuat beberapa tulisan kemudian untuk membahas soal ketidakadilan itu dan diminta bicara oleh pemerintah Malaysia di Kualalumpur. Tapi saya dilarang oleh Benny Moerdani, waktu itu dia masih komandan intel di Jakarta.

Apakah Bapak melihat cara-cara anak-anak muda di bawah 30 tahun dalam PRD itu memang gelagat komunis?

Saya dengar pemimpinnya baru tamat dua tahun dari (Universitas) Gajah Mada. Masing-masing kita punya pendapat. Kalau diadili dan bisa dibuktikan, semua akan lebih jelas. Apakah dia ada hubungan dengan pihak luar negeri dan yang lain. Saya hanya baca dari koran dan mendengar televisi, tak membaca dokumen-dokumen laporan resmi. Tapi PRD rupanya dicurigai begitu jauh. Kalau dibawa ke pengadilan saya kira lebih jelas.

Bukankah anak-anak muda itu produk Orde Baru dan hidup selama 30 tahun dalam masa stabilitas nasional yang mantap. Lalu apa yang keliru?

Ini akibat pemerintah tidak mengatur begitu rupa agar bisa hidup lebih bebas. Saya sendiri mengalami, saya juga hidup di bawah tekanan selama 21 tahun. Dari sudut pandang pemerintah, tentu berpikir supaya jangan ada revolusi. Saya berpendapat aspirasi masyarakat yang tersumbat itu akan mencari jalan lain, seperti yang terjadi tahun 50-an ketika terjadi macam-macam pemberontakan.

Bagaimana Bapak melihat kebebasan berpendapat belakangan ini?

Sampai tingkat tertentu ditolerir, tapi Bakorstanas terus mengawasi sampai seberapa jauh “mulut orang itu miring”. Keadaan darurat Indonesia ini dimulai sejak Sidang MPRS pada 1968 sampai Try Sutrisno menjabat Panglima ABRI. Jadi, sudah 20 tahun berlangsung. Contohnya dalam hal pengangkatan anggota MPR. Saya sudah menandatangani ketetapan MPR bahwa semua anggota permusyawaratan dan perwakilan rakyat harus dipilih dan tidak ada yang diangkat. Itu ketetapan Nomor 11 (1968), menjelang Pemilu (1971). Sekarang ini seenaknya saja anggota-anggota (MPR) itu diangkat.

Bagaimana sejarah pendirian Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) dulu?

Saya kira sekitar 1988 sudah diganti menjadi Bakorstanas. Tapi dalam praktiknya, karena sudah 20 tahun ada, orang melihat sosoknya masih tetap seperti yang lama.

Bapak dulu juga berperan dalam pendirian Kopkamtib, apakah tak ada batas waktu kapan lembaga itu harus dihapuskan?

Ya, saya juga dulu ikut berperanan. Kita menuntut supaya PKI dituntaskan. Pada waktu itu demonstrasi meningkat dan Bung Karno mengambil keputusan memberlakukan keadaan darurat militer (1 Oktober 1965). Persoalannya, Bung Karno masih membela PKI. Karena PKI hampir habis kita diatasi. Soeharto yang waktu itu jadi Panglima Kostrad bicara pada komandan-komandan batalyon bahwa tidak benar Angkatan Darat akan melakukan kudeta terhadap Bung Karno. Sebelumnya, Aidit menyebarkan bahwa kalau Bung Karno sakit maka AD akan melakukan kudeta. Aidit ini baru dipanggil pulang oleh Subandrio dari Peking, bukan dari Moskow seperti banyak ditulis. Kalau ke Moskow saya lebih laku dari Aidit (tertawa). Dari Moskow kita sudah membeli senjata lebih dari US$1 miliar. Isteri saya bilang kok dulu tidak mengambil komisi barang satu persen saja…..(tertawa).

Catatan:

Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) lahir pada 3 Oktober 1965. Ketika itu Jakarta dilanda ketegangan menyusul gagalnya kup G30S/PKI. Pangkopkamtib pertama adalah Jenderal Soeharto yang menjabat sampai Maret 1969. Soeharto digantikan Maraden Panggabean dan wakilnya adalah Soemitro. Yang terakhir ini menjabat Pangkopkamtib pada 1971. Jabatan ini pada 1974 kembali ke tangan Presiden Soeharto, lalu Sudomo (1974), Benny Moerdani (1983), dan dihapuskan pada 1988. Muncullah Bakorstanas.

Adanya dua parpol dan satu Golkar seperti sekarang ini kabarnya didasari oleh konsensus nasional, juga beberapa UU di bidang politik. Apakah benar konsensus nasional itu tak boleh diutak-utik?

Tak ada itu keputusan tentang konsensus nasional. Saya buat beberapa tulisan, saya bahas di situ bahwa tidak ada itu konsensus nasional. Kecuali yang diputuskan MPR. Sekarang ini semua orang bilang bahwa ABRI di DPR itu konsensus nasional. Saya bilang tak ada konsensus kecuali dari keputusan MPR. Saya dulu wakil ketua, waktu kita membuat UU pemilihan (umum) yang baru, ketuanya adalah Prof. Mohamad Yamin, wakilnya juga Idham Chalid (NU). Aidit juga ikut di dalamnya. Keputusan kami, MPRS berfungsi terus sampai terpilihnya MPR hasil Pemilu (1971). Itu tertulis. Tapi dalam praktiknya, saya tidak tahu lagi karena saya diberhentikan dan Pangkopkamtib jadi sangat berkuasa.

Apakah benar dalam konsensus nasional itu diputuskan model kepartaian seperti sekarang ini?

Yang disebut konsensus itu sendiri saya bantah dalam tulisan-tulisan saya. Kalau menjadi keputusan majelis, baru konsensus namanya. Pemerintah saja yang bicara konsensus.

Bagaimana dengan tiga kekuatan sospol yang sekarang ini sudah memadai dan ideal?

Memadai atau tidak itu terserah masyarakat. Tapi satu hal yang jelas munculnya PNI-Baru, Masyumi Baru, dan lainnya itu kan tambah kacau. Tapi melarang kan pemerintah tak bisa, undang-undangnya mana untuk melarang. Jadi tambah kacau. Kacau berpikir kita juga karena musti memperhitungkan mereka semua.

Mengapa yang “baru-baru” tadi bermunculan?

Akibat perkembangan politik sekarang. Orang tidak puas dengan sistem yang ada sekarang. Kemudian bikin gerakan. Contohnya lagi adalah munculnya banyak LSM. Ikut pemilu kan mereka tidak, tapi mereka tak setuju dengan undang-undang kepartaian yang sekarang ini membentuk Golkar, PDI dan PPP.

Bagaimana dengan Golkar yang terus dipertahankan sebagai single majority?

Itu logis saja. Sebenarnya saya juga yang mendirikan Golkar. Asal mula Golkar itu sederhana sekali. Dulu di jaman Bung Karno ada upaya mengumpulkan semua kekuatan. Maka hanya boleh ada tiga kekuatan yaitu nas(ional), a(gama), kom(unis). Saya tolak konsep itu. Karena menurut saya ada ratusan profesi di luar itu, seperti sarjana dan lainnya. Saya tak setuju karena saya ingin berjuang untuk mereka juga. Konflik saya dengan istana itu sudah dekat-dekat G30S/PKI. Bung Karno waktu itu pernah berpidato menirukan omongan PM Selandia Baru dari partai buruh, “Left is right.” (kiri adalah benar, red.). Saya balas bahwa saya tak bisa terima itu. Kalau dulu konflik seperti ini terang-terangan dan dimuat di koran-koran. Itu sudah biasa.

Jadi bagaimana dengan pernyataan KSAD Jenderal Hartono bahwa ABRI itu adalah kader Golkar?

Ketika keluar pernyataan itu Petisi 50 sudah membantah. Kita mengirim surat (ke DPR) bahwa itu tak benar.

Bapak juga pencetus Dwifungsi ABRI, bagaimana ide sebenarnya?

Saya pernah bicara soal ini di dies natalis Akabri di Magelang setahun setelah berdiri lembaga itu. Tanpa teks saya bicara. Kita (ABRI) sebenarnya di bidang politik berfungsi sebagai alat dari partai. Tapi ABRI di Indonesia juga tidak berkuasa sendiri. Tidak memonopoli kekuasaan. Istilah saya ketika itu, ABRI bahu-membahu dengan kekuatan lainnya untuk meneruskan pembangunan nasional kita. Itu yang saya ucapkan. Memang tidak ada teksnya.

Jadi tepatnya apakah posisi ABRI itu tut wuri handayani, atau apa?

Saya jangan ditanya soal itu, saya tak tahu istilah itu. Saya tak ikut merumuskan posisi itu.

Idealnya di mana posisi ABRI dalam pembangunan seharusnya, menurut Bapak?

Kita adalah salah satu kekuatan, potensi, dari kekuatan sospol di negara ini. Jadi posisinya adalah bahu-membahu. Istilah bahu-membahu ini begitu sering saya ucapkan, sehingga ketika saya sekali waktu berkunjung ke Polandia, Menteri Pertahanan Polandia katakan pada saya, “Bahu membahu.”

Bagaimana pelaksanaan Dwifungsi ABRI sekarang ini? Benarkah ada yang melenceng dari konsep Bapak?

Ya, melenceng. Yang saya katakan kan kita (ABRI) adalah salah satu kekuatan dan potensi perjuangan rakyat. Dalam posisi bahu-membahu itulah kita bersama-sama rakyat membangun Indonesia di masa yang akan datang. Jadi, bukan menguasai. Jangan terlalu dominan. Dwifungsi itu, menurut teori yang saya ucapkan, sesuai dengan doktrin yang diperjuangkan Menteri Pertahanan Bung Hatta, tidak demikian. Rakyatlah yang berdwifungsi. Karena rakyat itu bisa masuk milisi, dan nantinya kembali ke pekerjaan semula. Kalau kembali, ya, tidak dibayar negara lagi, ini juga menghindari korupsi.

Bapak menyebut korupsi, mungkinkah dicegah?

Saya kira sudah sulit. Sampai Ketua Mahkamah Agung saja terkena. Sebenarnya Bung Hatta pernah menyebut korupsi itu membudaya. Kata Bung Hatta ini semua karena belum berfungsinya lembaga-lembaga negara sesuai UUD 45. Saya dan Bung Hatta pernah melahirkan Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi. Tapi tak dilaksanakan. Akhirnya yang mampu, ya, non-pribumi itu lagi. Korupsi bisa diberantas kalau dimulai dan dipimpin (pemberantasannya) oleh yang paling atas. Saya berkali-kali membuat gerakan anti korupsi, tapi kekuasaan saya akhirnya direbut, dan hasilnya ya begitu-begitu saja.

Apa lagi yang Bapak lihat mendesak untuk dilakukan?

Kita harus betul-betul mengamalkan secara murni dan konsekuen UUD ’45. Pasal 28, misalnya, sudah dijamin kebebasan dan hak orang untuk mengemukakan pendapat dan berserikat. Bung Hatta pernah bilang, hak ini harus dijaga. Kalau satu kali lepas dari tangan rakyat, tak akan bisa didapat kembali. Bung Hatta sudah memperingatkan itu.

Orang bicara soal suksesi, apakah generasi pasca 45 sudah siap?

Tuhan itu adil. Dia tak akan memberikan tugas-tugas hebat pada Angkatan 45 saja. Pada angkatan berikutnya juga, tapi mereka harus berani menghadapi tantangan dan memecahkannya. Saya optimis akan hal itu.

Catatan:

  • Biografi Abdul Harris Nasution diambil dari Wikipedia.
  • Wawancara, diambil dari Tempo Interaktif, Edisi 32/01 – 02/Okt/1996.

 

Sumber : https://biografitokohdunia.wordpress.com/