“…. Pada suatu hari seorang buta berjalan di dalam pasar sambil membaca ayat “Aku berlindung kepada Allah dari syaithan yang terkutuk. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Maka akan ditunjukkan Allah kepada mereka yang tak pernah mereka sangka sebelumnya …… “
Ayat ini menyesakkan dada Abu Hafshin sehingga ia tak sadarkan diri. Sehingga, ketika itu di bengkel pertukangannya, sebagai ganti jepitan ia masukkan tangannya ke dalam tungku perapian untuk mengambil sepotong besi yang sedang membara. Besi tersebut ia taruh ke atas paron untuk dipalu anak-anak buahnya. Semua anak buah Abu Hafshin tersadar, betapa Abu Hafshin menempa besi panas itu dengan tangannya sendiri.
“Tuan, apakah yang engkau perbuat ini?” seru mereka.
“Palu!” Abu Hafshin memberi perintah.
“Tuan, apakah yang harus kami palu?” tanya mereka, “besi ini telah bersih”.
Barulah Abu Hatshin sadar. Dilihatnya besi yang membara di tangannya dan didengarnya seruan-seruan anak buahnya: “Besi itu telah bersih. Apakah yang harus kami palu?” Besi tersebut dilemparkannya. Bengkel itu segera ditinggalkannya dan siapa pun boleh mengurusnya.
“Sudah lama sebenarnya aku ingin meninggalkan usaha tersebut, tapi tak dapat. Akhirnya kejadian ini menimpa diriku dan secara paksa membebaskanku. Betapa pun aku mencoba meninggalkan usaha itu, namun sia-sia, akhirnya usaha itu sendiri yang meninggalkan diriku”
Sesudah itu, Abu Hafshin menjalani kehidupan dengan disiplin diri yang keras, menyepi dan bermeditasi….”
BAGAIMANA ABU HAFSHIN BIN HADDAD BERTAUBAT
Ketika masih remaja, Abu Hafshin bin Haddad jatuh cinta kepada seorang gadis pelayan. Ia sedemikian tergila-gila sehingga tak dapat hidup dengan tenang.
“Ada seorang dukun Yahudi yang tinggal di pinggiran kota Nishapur. Ia tentu dapat menolongmu”, sahabat-sahabatnya menyarankan.
Maka pergilah Abu Hafshin menemui dukun Yahudi itu dan menerangkan masalah yang sedang dihadapinya.
Si Yahudi menyarankan: “Selama empat puluh hari janganlah engkau melakukan shalat, dengan cara bagaimana pun juga janganlah kau patuhi perintah Allah, dan jangan lakukan perbuatan-perbuatan baik. Selama itu pula jangan engkau sebut-sebut nama Allah dan sama sekali jangan memikirkan hal-hal yang baik. Setelah semua ini engkau lakukan, barulah aku sanggup dengan sihirku membuat kehendakmu itu tercapai”.
Selama empat puluh hari Abu Hafshin melaksanakan nasehat si dukun. Setelah itu si dukun membuatkan sebuah jimat untuknya, tetapi ternyata juga masih tak ada hasilnya.
Si Yahudi berdalih: “Sudah pasti bahwa selama ini engkau pernah melakukan perbuatan baik. Jika tidak, tentu tujuanmu itu telah tercapai”.
“Tak ada pelanggaran yang pernah kulakukan”, Abu Hafshin membela diri. “Satu-satunya kebajikan yang kuingat adalah menyepak sebuah batu ketika aku datang ke sini agar tak ada orang yang tersandung karenanya” .
“Janganlah menjengkelkan Allah yang perintah-perintah-Nya hendak engkau tentang selama empat puluh hari. Dia takkan menyia-nyiakan kemurahan-Nya walau untuk kebajikan kecil seperti yang telah engkau lakukan”, cela si Yahudi.
Kata-kata itu mengobarkan api taubat di dalam dada Abu Hafshin, bahkan sedemikian berkobarnya sehingga ia bertaubat melalui si Yahudi itu.
Abu Hafshin terus melakukan usahanya sebagai pandai besi, dan menyembunyikan keajaiban yang telah terjadi terhadap dirinya itu. Setiap hari ia memperoleh uang satu dinar. Dan setiap malam pula uang satu dinar itu diberikannya kepada orang-orang miskin, atau secara sembunyi dimasukannya ke dalam kotak surat di rumah para janda. Kemudian, bila waktu isya’ telah tiba, ia pun pergi mengemis dan dengan uang yang diperolehnya melalui cara ini ia berbuka puasa. Kadang ia mengumpulkan bawang atau lainnya sisa-sisa yang terdapat di kamar cuci umum, lalu dijadikannya sebagai
santapannya.
Demikianlah perilaku Abu Hafshin untuk beberapa lama. Pada suatu hari seorang buta berjalan di dalam pasar sambil membaca ayat “Aku berlindung kepada Allah dari syaithan yang terkutuk. Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Maka akan ditunjukkan Allah kepada mereka yang tak pernah mereka sangka sebelumnya …… “
Ayat ini menyesakkan dada Abu Hafshin sehingga ia tak sadarkan diri. Sehingga, ketika itu dipertukangannya, sebagai ganti jepitan ia masukkan tangannya ke dalam tungku perapian untuk mengambil sepotong besi yang sedang membara. Besi tersebut ia taruh ke atas paron untuk dipalu anak-anak buahnya. Semua anak buah Abu Hafshin tersadar, betapa Abu Hafshin menempa besi panas itu dengan tangannya sendiri.
“Tuan, apakah yang engkau perbuat ini?” seru mereka.
“Palu!” Abu Hafshin memberi perintah.
“Tuan, apakah yang harus kami palu?” tanya mereka, “besi ini telah bersih”.
Barulah Abu Hatshin sadar. Dilihatnya besi yang membara di tangannya dan didengarnya seruan-seruan anak buahnya: “Besi itu telah bersih. Apakah yang harus kami palu?” Besi tersebut dilemparkannya. Bengkel itu segera ditinggalkannya dan siapa pun boleh mengurusnya.
“Sudah lama sebenarnya aku ingin meninggalkan usaha tersebut, tapi tak dapat. Akhirnya kejadian ini menimpa diriku dan secara paksa membebaskanku. Betapa pun aku mencoba meninggalkan usaha itu, namun sia-sia, akhirnya usaha itu sendiri yang meninggalkan diriku”
Sesudah itu, Abu Hafshin menjalani kehidupan dengan disiplin diri yang keras, menyepi dan bermeditasi.
Sumber : https://biografiparasufi.wordpress.com/