AL-FUZAIL BIN IYAZ, Sang Pembegal Yang Bertaubat
Abu ’AIi aI·FuzaiI bin ‘Iyaz at-Talaqani Iahir di Khurasan. Diriwayatkan bahwa sewaktu masih remaja, Fuzail adalah seorang penyamun. Setelah bertaubat, Fuzail pergi ke Kufah kemudian ke Makkah, di mana ia tinggal beberapa tahun Iamanya hingga wafatya pada tahun 187 H/803 M. Nama FuzaiI cukup terkenal sebagai seorang ahli Hadits, dan keberaniannya mengkhotbahi Khalifah Harun ar-Rasyid sering diperbincangkan orang.
FUZAIL PEMBEGAL DAN KISAH PERTAUBATANNYA
Sewaktu masih remaja, Fuzail mendirikan kemah di tengah·tengah padang pasir, yaitu di antara Merv dan Baward. jubahnya terbuat dari bahan ‘kasar, topinya terbuat dari bulu domba, dan dilehernya senantiasa tergantung sebuah tasbih. Fuzail mempunyai banyak teman yang semuanya terdiri dari para pencuri dan pembegal. Siang dan malam mereka merampok, membunuh dan membawa hasil rampasan mereka kepada FuzaiI karena ia adalah kepala mereka. Fuzail mengambil sesuatu yang disukainya, sesudah itu membagi-bagikan Iebihan harta rampasan tersebut kepada semua sahabatnya. Ia selalu tanggap tentang sesuatu dan tak pernah alpa dari pertemuan-pertemuan mereka. Setiap anggota baru yang sekali saja tidak menghadiri pertemuan, Fuzail akan mengeluarkannya dari kelompok mereka.
Suatu hari sebuah kafilah yang besar melewati daerah mereka. FuzaiI dan sahabat-sahabatnya teIah menanti-nantikan kedatangan kafilah tersebut. Di dalam rombongan itu ada seorang lelaki yang pernah mendengar desas-desus mengenai para perampok itu. Ketika ia melihat kawanan perampok itu dari kejauhan, ia pun berpikir, bagaimanakah ia harus menyembunyikan sekantong emas yang dimilikinya.
“Kantong emas ini akan kusembunyikan”, ia berkata di dalam hati. “Dengan demikian jika para perampok membegal rombongan ini, aku masih mempunyai modal untuk diandalkan”. Ia menyimpang dari jalan raya. Kemudian ia melihat sebuah kemah dan di dekat kemah itu ada seorang yang wajah dan pakaian nya tampak sebagai seorang pertapa. Maka kantong emas itu pun lalu dititipkannya kepada orang itu, yang sebenarnya adalah Fuzail sendiri. ”Taruhlah kantongmu itu di pojok kemahku”, Fuzail berkata kepadanya. Lelaki itu melakukan seperti yang dikatakan Fuzail.
Kemudian ia kembali ke rombongannya, tetapi ternyata mereka telah dibegal oleh kawanan Fuzail. Semua barang bawaan mereka telah dirampas sedang kaki dan tangan mereka diikat. Lelaki itu melepaskan ikatan sahabat-sahabat seperjalanannya. Setelah mengumpulkan harta benda mereka yang masih tersisa, menyingkirlah mereka dari tempat kejadian itu. Lelaki tadi kembali ke kemah Fuzail untuk mengambil kantong emasnya. Ia melihat Fuzail sedang berkerumun dengan kawanan perampok dan membagi-bagikan hasil rampasan mereka.
“Celaka, ternyata aku telah menitipkan kantong emasku kepada seorang maling”, lelaki itu mengeluh.
Tetapi Fuzail yang dari kejauhan melihatnya, memanggilnya dan ia pun datang menghampiri.
“Apakah yang engkau kehendaki”, lelaki itu bertanya kepada Fuzail.
“Ambillah barangmu dari tempat tadi dan setelah itu tinggalkanlah tempat ini”.
Lelaki itu segera berlari ke kemah Fuzail, mengambil kantong emas dan meninggalkan tempat itu.
Dengan keheran-heranan teman-teman Fuzail berkata: “Dari seluruh kafilah itu kita tidak mendapatkan satu dirham pun di dalam bentuk tunai, tetapi mengapa engkau mengembalikan sepuluh ribu dirham itu kepadanya?”
Fuzail menjawab: “Ia telah mempercayaiku seperti aku mempercayai Allah akan menerima taubatku nanti. Aku hargai kepercayaannya itu agar Allah menghargai kepercayaanku pula”.
Pada hari yang lain mereka membegal kafilah pula dan merampas harta benda mereka. Ketika kawanan Fuzail sedang makan, seorang anggota kafilah itu datang menghampiri mereka dan bertanya: ”Siapakah pemimpin kalian?”
Kawanan perampok itu menjawab: “Ia tidak ada di sini. Ia sedang shalat di balik pohon yang terletak di pinggir sungai itu”.
“Tetapi sekarang ini belum waktunya untuk shalat”, lelaki itu berkata.
“Ia sedang melakukan shalat sunnat”, salah seorang di antara pembegal-pembegal itu menjelaskan.
“Dan ia tidak makan bersama-sama dengan kaIian?”, lelaki itu melanjutkan.
“Ia sedang berpuasa”, jawab salah seorang.
“Tetapi sekarang ini bukan bulan Ramadhan?”
“Ia sedang berpuasa sunnat”.
Dengan sangat heran lelaki tadi menghampiri Fuzail yang sedang khusyuk di dalam shalatnya, Setelah selesai berkatalah ia kepada Fuzail,
“Ada sebuah peribahasa yang mengatakan, hal-hal yang bertentangan tidak dapat dipersatukan. Bagaimanakah mungkin seseorang berpuasa, merampok, shalat dan membunuh orang Muslim pada waktu yang bersamaan?”.
“Apakah engkau memahami al-Qur’an?”, Fuzail bertanya kepadanya.
“Ya”, jawab lelaki itu.
“Tidakkah Allah Yang Maha Kuasa berkata: ’Orang-orang lain telah mengakui dosa-dosa mereka dan mencampuradukkan perbuatan-perbuatan yang baik dengan perbuatan-perbuatan yang aniaya?’ “.
Lelaki itu terdiam tidak dapat berkata apa-apa.
Orang-orang mengatakan bahwa pada dasarnya Fuzail adalah seorang yang berjiwa satria dan berhati mulia. Apabila di dalam sebuah kafilah terdapat seorang wanita, maka barang-barang wanita itu tidak akan diusiknya. Begitu pula harta benda orang-orang miskin tidak akan dirampas Fuzail. Untuk setiap korbannya, ia selalu meninggalkan sebagian dari harta bendanya yang dirampas. Sebenarnya semua kecenderungan Fuzail tertuju kepada perbuatan yang baik.
Sumber : https://biografiparasufi.wordpress.com/