Ada sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang terus membangun dan mengembangkan peradabannya melalui pendidikan. Pembangunan dan pengembangan pendidikan ditinjau dari berbagai aspek seperti pendidikan di usia dini sampai pada pendidikan tingkat tinggi, pendidikan formal maupun informal merupakan refleksi dari upaya bangsa tersebut dalam mengukir kemajuan peradabannya melalui pendidikan sebagai instrumen utamanya. Sejarah prestasi bangsa dalam pembangunan dari aspek, pendidikan sosial, pendidikan politik, pendidikan ekonomi, pendidikan kebudayaan, pendidikan hukum, dan lain-lain merupakan ilham tersendiri bagi perjalanan sebuah bangsa dalam membangun peradabannya. Indonesia sebagai manifestasi bangsa yang besar memiliki jiwa besar dan mampu berfikir besar, bangsa yang besar tidak berfikir secara reaktif akan tetapi lebih berfikir strategis dan lebih proaktif untuk kemajuan dan kesejahteraan bagi segenap warga negara.
Belajar dari sejarah akan mengajak bangsa ini untuk senantiasa mengukir peradaban. Sejarah manusia merupakan sejarah peradaban itu sendiri. Peradaban selalu bersifat komprehensif yang tidak satupun konstituen kesatuannya dapat sepenuhnya memahami tanpa mengacu pada cakupan (wilayah) peradaban. Menurut A.Toynbee peradaban merupakan sebuah totalitas. Sedangkan Melko Menyatakan bahwa, Peradaban memiliki suatu derajat integritas tertentu setiap bagiannya terumuskan melalui saling keterkaitan antara masing-masing bagian dengan keseluruhannya. Jika sebuah peradaban terdiri dari berbagai negara, maka masing-masing negara tersebut akan memiliki hubungan yang lebih dibanding negara-negara yang berbeda. Sebuah peradaban merupakan bentuk budaya yang paling tinggi dari suatu kelompok masyarakat dan tataran yang paling luas dari identitas budaya kelompok masyarakat manusia yang dibedakan secara nyata dari mahluk-mahluk lain. Sebuah peradaban terdefinisikan baik dalam faktor-faktor obyektif pada umumnya seperti bahasa, sejarah, agama, kebiasaan-kebiasaan, institusi-institusi maupun identifikasi diri yang bersifat subyektif.
Dari deskripsi tersebut tentu memberikan sebuah pengertian bahwa pembangunan dan pengembangan pendidikan sebagai upaya mengukir peradaban senantiasa harus ditunjang oleh sarana maupun prasarana yang mampu menopang eksistensi dari pendidikan tersebut. Salah satu instrumen fundamental yang harus dikelola dengan baik dalam rangka merealisasikan tujuan pendidikan adalah pembangunan dan pengembangan perpustakaan sebagai institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, karya rekam guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, dan rekreasi yang strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Perkembangan perpustakaan sendiri bila ditinjau dari aspek historis tidak dapat dipisahkan dari sejarah peradaban manusia, karena perpustakaan merupakan produk peradaban manusia. Untuk berabad-abad bahkan beribu tahun lamanya perpustakaan telah menjadi sentral dari informasi tertulis dan menjadi simbol yang kuat terhadap peradaban ataupun intelektualitas yang telah dicapai oleh ummat manusia. Perkembangan perpustakaan juga sangat terkait dengan perkembangan masyarakat. Kondisi yang mempengaruhi perkembangan masyarakat secara kausalitas akan mempengaruhi perkembangan perpustakaan. Konsekuensi logis dari fakta tersebut mencerminkan bahwa eksistensi perpustakaan menjadi kebutuhan sosial, ekonomi, kultural, dan pendidikan suatu masyarakat.
Dalam hal ini Aan Rohana berpendapat bahwa masyarakat harus memiliki paradigma (kesadaran) terhadap perpustakaan sebagai pusat sumber informasi, ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian, dan kebudayaan dan bukan merupakan tempat atau ruangan besar yang penuh dengan buku-buku dengan suasana yang statis. Sehingga diharapakan dari kesadaran komunal masyarakat dalam memberdayakan dan memanfaatkan perpustakaan secara optimal akan menjadi sebuah keniscayaan bahwa kemajuan sebuah pearadaban akan berbanding lurus dengan kemajuan yang dicapai oleh perpustakaan sebagai motor penggeraknya.
Saat ini pemerintah berupaya untuk merealisasikan hal tersebut melalui politik kebijakannya terhadap pembangunan dan pengembangan perpustakaan termanifestasikan dalam konsideran Undang-undang No 43 Tahun 2007 tentang perpustakaan yang diarahkan sebagai wahana belajar sepanjang hayat mengembangkan potensi masyarakat agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan Nasional.
Dengan diberlakukannya Undang-undang No 43 Tahun 2007 tentang perpustakaan keberadaan dari perpustakaan menjadi sangat penting dalam menopang keberlangsungan sistem pendidikan yang ada. Undang-undang tersebut menjadi payung hukum bagi segala aktifitas kinerja perpustakaan dan seluruh elemen pendukung kegiatannya, meliputi pustakawan, gedung, koleksi, dan pemustaka. Sebagaimana diamanatkan dalam pasal 3 dikatakan bahwa perpustakaan berfungsi sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa.
Bertolak dari fungsi perpustakaan diatas tentunya sebuah tantangan bagi pengelola perpustakaan untuk menciptakan sebuah perpustakaan yang bisa menjadi tempat menggali ilmu sekaligus tempat rekreasi yang menyenangkan sehingga terwujud masyarakat pembelajar sepanjang hayat. Dan begitu pun sebaliknya, akan menjadi sebuah kondisi yang memprihatinkan, apabila keberadaan Undang-undang tersebut tidak bisa membuat kinerja perpustakaan lebih maksimal karena sepi pemustaka. Dengan kata lain, perpustakaan hanya menjadi sebuah gudang buku yang statis dan kurang menarik perhatian pemustakanya.
Salah satu momentum yang harus dilihat sebagai peluang pengembangan dan pembangunan perpustakaan di indonesia adalah dengan lahirnya Undang-undang No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dimana masyarakat luas sebagai elemen terpenting dari eksistensi perpustakaan diberikan akses yang luas dan terproteksi untuk memperoleh dan mengolah informasi dalam rangka mengembangkan pribadi dan lingkungannya. Peran perpustakaan dalam memanfaatkan era keterbukaan informasi publik menjadi hal yang sangat urgen di tengah upaya pemerintah dan stakeholders terkait dalam membumikan serta membudayakan perpustakaan sebagai wahana ilmu pengetahuan yang menyenangkan dan nyaman bagi masyarakat.
Dengan demikian momentum era keterbukaan informasi publik hendaknya disinkronkan dengan usaha melalui terobosan-terobosan yang mampu menstimulasi gairah masyarakat dalam membudayakan gerakan gemar membaca, mengunjungi dan memanfaatkan perpustakaan sebgai sentra pengembangan diri maupun lingkungannya. Salah satu yang menjadi titik tekan disini ialah bagaimana merubah paradigma masyarakat terhadap perpustakaan dengan sistem dan pelayanannya yang konvensional menjadi sebuah wahana yang menarik melalui konsep wisata edukatif yang jauh dari kesan eksklusif, kaku, dan membosankan.
PERPUSTAKAAN SEBAGAI PILAR PENCERDASAN KEHIDUPAN BANGSA
Sebuah bangsa bisa dinilai maju atau tidak dalam peradaban dan kebudayaannya seiring dengan tingkat kecerdasan warga negaranya dalam menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengamanatkan bahwa salah satu inti tujuan kemerdekaan adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Ini berarti bahwa setiap warga negara berhak untuk hidup cerdas.
Karenanya, pemerintah berkewajiban untuk membebaskan warga negaranya dari kebodohan dan keterbelakangan, sekaligus juga berkewajiban menjamin dan menyediakan sarana dan prasarana untuk mencerdaskan anak-anak bangsa. Masyarakat membutuhkan sarana untuk terus belajar dan mengembangkan wawasan serta pengetahuannya agar hidupnya menjadi semakin cerdas, berkualitas, dan mampu berkompetisi dalam percaturan global. Bentuk konkrit dari sarana tersebut tidak lain adalah perpustakaan.
Dalam pasal 4 ayat 5 Undang-undang No 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menyebutkan bahwa Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat. Dalam hal ini orientasi pendidikan yang dikembangkan oleh pemerintah kaitannya dengan sistem pendidikan nasional adalah menumbuhkan intensitas kesadaran akan pentingnya kultur membaca, menulis, berhitung di kalangan masyarakat sebagai upaya peningkatan kualitas intelektual dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara yang tercerdaskan. Salah satu upaya strategis yang semestinya dilakukan oleh pemerintah dan stakeholders terkait adalah dengan mengoptimalkan keberadaan perpustakaan sebagai pusat stimulator untuk mewujudkan tujuan tersebut.
Menurut Sutarno NS., dalam bukunya yang berjudul “perpustakaan dan masyarakat” menyatakan bahwa Perpustakaan adalah milik masyarakat, maksudnya bahwa perpustakaan dibangun dan dikelola oleh masyarakat yang bersangkutan yang berada di sekitarnya dan memanfaatkan perpustakaan.
Perpustakaan masyarakat tersebut berfungsi untuk masyarakat, untuk melayani kepentingan penduduk yang tinggal di sekitarnya misalnya perpustakaan umum. Pengertian umum adalah bahwa warga masyarakat yang berdomisili di wilayah perpustakaan terdiri atas semua lapisan masyarakat tanpa membeda-bedakan latar belakang sosial, ekonomi, budaya, agama, adat-istiadat, tingkat pendidikan, umur, dan lain sebagainya. Semua orang mempunyai hak yang sama untuk memanfaatkan perpustakaan umum tersebut (demokrasi informasi). Mereka juga mempunyai kewajiban untuk bersama-sama memelihara dan mengembangkan. Hal itu dilandasi suatu konsep bahwa sebuah perpustakaan umum adalah dari, oleh, dan untuk masyarakat.
Pernyataan tersebut mencerminkan bahwa perpustakaan memiliki tanggung jawab sosial dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sehingga menjadi ujung tombak bagi terselenggaranya masyarakat madani yang tercerdaskan sesuai dengan cita-cita bangsa.
Legalitas yang ada pada Undang-Undang Nomor 43 tahun 2007 secara otomatis memberikan ruang bagi perpustakaan untuk menunjukkan peran yang semakin penting, terutama dalam mentransformasikan ilmu pengetahuan secara demokratis menuju masyarakat yang beriman, bertaqwa, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta bertanggung jawab dalam mendukung penyelenggaraan pendidikan dan pelestari nilai budaya masyarakat.
Kemudian yang tidak kalah pentingnya, selain sebagai fasilitas interaksi individu dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perpustakaan melalui seluruh potensi yang ada juga dapat membangun kepribadian luhur, meningkatkan keterampilan dan produktifitas, sehingga memiliki fungsi sebagai sarana pendidikan, penelitian preservasi dan rekreasi dalam penguatan ilmu pengetahuan dan kebudayaan.
Dari pembahasan di atas memberikan kualifikasi yang jelas bahwa Terwujudnya perpustakaan sebagai pilar pencerdasan bangsa tidak dapat dibangun hanya dari satu sisi, yaitu dari sisi perpustakaannya dan stakeholders terkait akan tetapi perlu adanya peningkatan kualitas kesadaran dari masyarakat luas akan pentingnya keberadaan perpustakaan sebagai media yang strategis dalam rangka mengembangkan potensi kecerdasan baik secara individu maupun komunal. Sehingga dari pemahaman tersebut diharapkan dapat menciptakan struktur pola pengembangan dan pembangunan perpustakaan yang sinergis oleh dan dari semua pihak.
Dengan demikian eksistensi perpustakaan sebagai salah satu pilar pencerdasan bangsa merupakan refleksi dari keinginan dan kebutuhan masyarakat sehingga harus dapat menjadi media kepentingan, hak, dan kewajiban pemerintah dan masyarakat yang saling koheren satu sama lainnya.
Di satu sisi pemerintah sebagai otoritas tertinggi dalam organisasi kenegaraan mempunyai kepentingan dan kewajiban untuk mengembangkan dan membangun perpustakaan berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, keprofesionalan, keterbukaan, keterukuran, kemitraan sebagai landasan dalam mengarahkan perpustakaan sebagai salah satu pilar strategis pencerdasan kehidupan bangsa.
PERPUSTAKAAN DI ERA KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK
Kemajuan teknologi dan informasi dalam peradaban global semakin menjadi tantangan bagi perpustakaan untuk memberikan informasi terhadap pengguna jasanya. Perpustakaan sebagai penyedia informasi bagi masyarakat memiliki peran yang vital dan strategis dalam era keterbukaan informasi publik. Maka peran dan fungsi perpustakaan di era global adalah bagaimana berperan sebagai lembaga publik yang informatif dan dapat memberikan informasi yang obyektif dalam sistim sosial. Dengan kata lain perpustakaan akan eksis apabila mengembangkan suatu komunikasi dalam peradaban manusia. Termasuk tugas perpustakaan sebagai pencerah terhadap peradaban manusia, selain itu perpustakaan juga dituntut sebagai emansipator dalam proses transformasi menuju era keterbukaan informasi.
Dengan demikian maka semakin jelas bahwa perpustakaan tidak hanya terbatas dalam wujudnya sebagai sebagai sebuah wadah koleksi buku. Akan tetapi perlu kiranya dipahami bersama untuk memperluas makna dari perpustakaan tidak hanya terbatas pada konvensionalitas sederhana manajemen pengelolaan maupun sumber dayanya semata melainkan harus sinergis seiring perkembangan teknologi, kiranya klasifikasi perpustakaan juga di maknai dalam bentuk digitalisasi literatur dan otomasi pengelolaannya.
Perluasan bentuk perpustakaan yang demikian jelas akan membawa dampak positif ketika di Indonesia pada saat ini telah mengesahkan adanya regulasi yang mengatur tentang keterbukaan informasi publik. Paradigma keterbukaan atau transparansi dalam perkembangannya menjadi salah satu prinsip atau pilar negara demokrasi demi terwujudnya kontrol sosial.
Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa transparansi dan kontrol sosial dibutuhkan untuk dapat memperbaiki kelemahan mekanisme kelembagaan demi menjamin kebenaran dan keadilan. Hal Ini merupakan bentuk representation in ideas yang tidak selalu inherent dalam representation in presence.
Berpangkal pada paradigma tersebut maka Amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 F disebutkan bahwa: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, dan menyimpan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Maka dari itu berpangkal dari ketentuan pasal 28 huruf F tersebut telah mengilhami diundangkannya produk hukum di ranah publik yaitu UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Dalam ketentuan umum pasal 1 angka 1 dan angka 2 dijelaskan bahwa: Pertama informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan baik data, fakta, maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi baik secara elektronik maupun non elektronik. Kedua informasi publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.
Hak atas informasi sebagai hak asasi manusia juga dapat dilihat dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai cakupan dari hak atas kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat. Jaminan yang sama juga ditegaskan dalam Pasal 19 ayat (2) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Hak atas informasi juga menjadi materi amandemen pertama konstitusi Amerika Serikat.
Pelapor Khusus PBB tentang Kebebasan Berpendapat pada bulan November 1999 dalam pertemuan Global Campaign for Free Expression menyatakan sebagai berikut: “Yang tersirat pada kebebasan memperoleh informasi adalah hak masyarakat dalam membuka jalan untuk memperoleh informasi dan untuk tahu apa yang sedang pemerintah lakukan atas nama mereka. Tanpa hal-hal itu, kebenaran akan merana dan partisipasi masyarakat pada pemerintahan akan tetap sepenggal-sepenggal.”
Berdasarkan uraian diatas maka ada sebuah korelasi antara peran pembangunan dan pengembangan perpustakaan di era keterbukaan informasi publik. Oleh sebab itu makna dari perpustakaan sendiri seyogyanya diperluas sehingga peran dan fungsinya semakin nyata dalam dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Berdasarkan pemahanan tersebut hubungan diantara keduanya jika ditelaah secara komparatif antara UU Perpustakaan dengan UU Keterbukaan Informasi Publik akan menghasilkan sebuah titik korelasi antara peran perpustakaan di era keterbukaan informasi publik antara lain:
a. Ada unsur pemerintah dan lembaga negara sebagai badan publik yang sekaligus sebagai pengatur, pengelola, dan penyedia informasi yang bersifat publik
b. Berbentuk dokumen yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca baik dengan media elektronik maupun non elektronik
c. Perpustakaan berhubungan dengan penyelenggaraan badan publik
d. Baik Perpustakaan maupun keterbukaan informasi publik sama-sama terlegitimasi dalam sebuah Undang-Undang.
Oleh sebab itu Perpustakaan sebagai bagian dari pilar strategis keterbukaan informasi publik harus mampu memberikan peran dan kontribusi yang nyata bagi pencerdasan masyarakat Indonesia sebagaimana termaktub di dalam tujuan Nasional negara yang secara jelas terangkum di dalam alinea ke IV UUD 1945.
D. STRATEGI REKONSTRUKSI PERPUSTAKAAN MELALUI KONSEP WAHANA WISATA EDUKATIF
Dari deskripsi dan diskursus di atas jelas menunjukan peran sentral dari perpustakaan sebagai motor penggerak peradaban suatu bangsa ditengah pesatnya arus globalisasi. Hal tersebut tentu saja akan berimplikasi pada arah pembangunan dan pengembangan perpustakaan dalam mewujudakan dirinya sebagai pilar strategis pencerdasan kehidupan bangsa.
Dengan demikian perubahan paradigma terhadap perpustakaan merupakan sebuah keniscayaan yang harus diikuti oleh terobosan-terobosan inovatif dan progresif dalam membangun dan mengembangkan perpustakaan di tengah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Salah satu upaya strategis yang dapat dijadikan sebagai solusi dari stagnansi pengembangan dan pembangunan perpustakaan di Indonesia adalah dengan mengoptimalkan fungsi perpustakaan yang selama ini kurang mendapatkan porsi untuk dikembangkan yaitu fungsi rekreasi.
Secara harfiah rekreasi dapat diartikan penyegaran kembali badan dan pikiran, dapat juga dikatakan sesuatu yang menggembirakan hati dan menyegarkan seperti hiburan dan piknik. Berdasarkan pengertian dan fungsi perpustakaan yang tertuang dalam UU No. 43 Tahun 2007, salah satu fungsi perpustakaan adalah rekreasi. Fungsi rekreasi yang dimaksud adalah rekreasi kultural.
Fungsi rekreasi tersebut tentu saja tidak terlepas dari tujuan utama perpustakaan, yaitu melestarikan hasil budaya umat manusia, khususnya yang berbentuk dokumen karya cetak dan karya rekam lainnya, serta menyampaikan gagasan, pemikiran, pengalaman, dan pengetahuan umat manusia itu kepada generasi-generasi selanjutnya. Pengembangan fungsi rekreasi berarti melengkapi fungsi utama perpustakaan, yaitu agar perpustakaan terasa lebih menarik dan menghibur.
Fungsi rekreasi ini dicapai tidak hanya dengan cara menghadirkan bacaan-bacaan yang menyegarkan, lebih dari itu juga melalui fasilitas gedung yang nyaman dan refresentatif, ruangan dan interior yang mendukung, termasuk menghadirkan berbagai fasilitas seperti ruang dengan home teater untuk media audio visual, musik di ruang baca, serta pelayanan yang ramah dan bersahabat. Khusus perpustakaan-perpustakaan besar seperti perpustakaan daerah, alangkah baiknya jika disertai taman bunga, air mancur, dan kantin.
Namun, yang dikedepankan tentu saja tetap pelayanan yang ramah dan bersahabat. Kehadiran fungsi rekreasi ini akan membantu memberikan kesan puas dan refresh pada pemustaka setiap kali berkunjung. Para pengunjung diharapkan tidak hanya gembira berhasil menggali informasi, tapi juga merasa nyaman, gembira, senang, terhibur, segara, dan mempunyai kenangan berkunjung ke perpustakaan. Kenyamanan tersebut juga berperan pada tingkat konsentrasi pengunjung saat berusaha menangkap materi demi materi yang dibaca atau ditontonnya di perpustakaan.
Sebagai upaya strategis dalam merekonstruksi perpustakaan diera keterbukaan informasi maka dalam hal ini penulis menggagas solusi konkret terhadap optimalisasi fungsi perpustakaan sebagai tempat rekreasi melalui konsep wahana wisata edukatif kedalam beberapa langkah, diantara lain:
1. Pemanfaatan Teknologi Informasi
Strategi rekonstruksi diawali dengan mengintrodusir serta mengintegrasikan teknologi informasi dan pengadaan bahan-bahan informasi berbasis teknologi informasi. Misalnya pengadaan kaset-kaset VCD yang berisi serial pengetahuan populer lengkap dengan CVD playernya. Berbagai mainan edukatif untuk anak usia TK dan SD juga disediakan dalam jumlah memadai. Aktifitas perpustakaan yang semula bersifat individual, dalam arti hanya diisi kegiatan membaca secara individual, diubah menjadi kegiatan bersama karena ujungnya terbentuk komunitas warga yang melakukan kegiatan pemutaran film dan diskusi. Kehadiran dokumen-dokumen digital, telah mendorong pengunjung membentuk sebuah kelompok diskusi, yang secara reguler melakukan pertemuan mendiskusikan topik-topik sesuai minat anggota kelompok.
2. Penggunaan Audio Visual
Teknik ini biasanya dilakukan untuk wisata mandiri perindividual (perorangan), di antaranya adalah penggunaan kaset, televisi, slide, dll. Pemakai perpustakaan dapat menjelajahi perpustakaan dengan mendengarkan instruksi yang direkam dalam kaset. Mereka dapat mematikan dan mengulang kaset tersebut sesuai dengan kemampuannya dalam memahami instruksi yang terdapat dalam kaset. Orientasi perpustakaan dapat juga dilakukan melalui penggunaan televisi, para peserta dapat menyaksikan dan memperoleh penjelasan mengenai berbagai hal, seperti: fasillitas perpustakaan, pelayanan perpustakaan, dan fungsinya masing-masing. Slide dapat digunakan dalam menerangkan lokasi, fasilitas dan pelayanan perpustakaan dengan memberikan keterangan-keterangan yang diberikan oleh pemandu atau rekaman suara.
3. Permainan dan Tugas Mandiri
Metode ini merupakan salah satu cara yang cukup efektif dalam mengajarkan bagaimana cara menemukan informasi yang dibutuhkan. Biasanya lebih sesuai diterapkan untuk pemakai perpustakaan usia anak Sekolah Dasar dan Menengah. Permainan sangat berguna dalam meningkatkan kemampuan anak sehingga mereka lebih dapat menikmati penggunaan perpustakaan. Biasanya metode ini dilakukan di tingkat lebih tinggi untuk menghilangkan kejenuhan yang mungkin ada ketika proses pembelajaran dengan metode lain berlangsung.
4. Penggunaan Buku Pedoman dan Pamflet
Teknik ini biasanya menuntut pemakai untuk mempelajari sendiri mengenal perpustakaan melalui berbagai keterangan yang ada pada buku panduan atau pamflet, dan biasanya diterapkan ketika peserta melaksanakan wisata perpustakaan. Beberapa pertimbangan yang perlu dilakukan ketika membuat buku pedoman atau pamflet untuk keperluan pendidikan pemakai ini, antara lain:
• Buatlah bahan tersebut sesingkat mungkin.
• Harus membuat pemakai jelas dalam melakukan hal yang berkenaan dengan penggunaan perpustakaan.
• Membuat pemakai kreatif.
• Membuat langkah yang sederhana, dengan demikian pemakai dapat selangkah demi selangkah mencoba untuk mempraktekkannya di perpustakaan.
5. Promosi Perpustakaan
Promosi perpustakaan adalah kegiatan pengenalan sosialisasi mengenai seluk beluk dunia perpustakaan. Tujuan dari promosi perpustakaan ini adalah:
• Untuk menginformasikan kepada pemakai layanan dan program kegiatan yang ada di perpustakaan.
• Untuk menbangkitkan minat dan keinginan pemakai terhadap perpustakaan dan layanannya.
• Untuk memelihara kesadaran pemakai terhadap layanan perpustakaan.
• Untuk meningkatkan penggunaan perpustakaan.
Jika melihat dari tujuan promosi perpustakaan tersebut maka diperlukan cara-cara yang jitu sebagaimana cara-cara promosi di dunia usaha supaya promosi perpustakaan bisa tepat sasaran dan menghasilkan hasil yang optimal. Dalam hal ini, menurut hemat penulis perpustakaan dapat melakukan promosi melalui media elektronik (media televisi, internet, dan radio), media cetak (surat kabar, brosur dan majalah) dan pameran sebagai langkah strategis membangun paradigma perpustakaan sebagai wahana wisata edukatif.
PENUTUP
Kesimpulan
Dengan melihat posisi dari perpustakaan sebagai salah satu pilar strategis yang dapat mencerdaskan kehidupan bangsa, maka dalam hal ini reposisi peran dan kinerja perpustakaan dalam konteks sebagai solusi cerdas dalam meningkatkan kemampuan bersaing bangsa secara global di era keterbukaan informasi publik merupakan suatu kebutuhan yang masih memerlukan perhatian dan tindakan yang intensif.
Paradigma yang ada dan berkembang di masyarakat kiranya harus diarahkan kepada pemahaman yang holistik akan pentingnya eksistensi perpustakaan dalam membangun kualitas kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian perpustakan tidak hanya menjadi kebutuhan yang bersifat formal-legalistik yang hanya termaktub dalam undang-undang semata melainkan juga menjadi suatu kebutuhan yang terakulturasi menjadi sebuah budaya dalam masyarakat indonesia secara komunal.
Saran
Berdasarkan pembahasan di atas maka penulis menyarankan dalam membangun perpustakaan di era keterbukaan informasi publik melalui konsep wahana wisata ilmiah antara lain:
1. Seyogyanya pemerintah merintis upaya rekonstruksi perpustakaan sebagai upaya untuk mengoptimalkan perpustakaan sebaga salah satu pilar fundamental dalam mencerdaskan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sehingga masyarakat secara umum memiliki corak kehidupan sebagai pembelajar sepanjang hayat (long life education)
2. Seyogyanya pemerintah mulai mengelola perpustakaan secara professional sebagai upaya menciptakan maksimalisasi pelayanan kepada masyarakat di era keterbukaan informasi publik.
Sumber : http://pustaka.pu.go.id/new/artikel-detail.asp?id=329