[Kutipan Buku] Ideologi Kolonial Belanda

Westernisasi merupakan jalan yang terbaik untuk mengendalikan meluapnya gerakan di antara kaum muslimin.~ C. Snouck Hurgronje, Colijn over Indie, (Amsterdam, 1928)

Politik Etis dan Ide Asosiasi

Pada masa peralihan dari abad ke-19 ke abad ke-20 politik ethis berkembang hampir bersamaan dengan, dan dimungkinkan oleh, arah baru di dalam politik kolonial partai-partai Belanda; arah baru itu biasanya disebut dengan nama politik kolonial daripada pendidikan moral. Sehubungan dengan arah baru di dalam politik kolonial itu, maka tugas kolonial selanjutnya dipandang sebagai suatu missi kebudayaan yang bersifat moral, sedang “politik mencari keuntungan” telah ditinggalkan. Cita-cita yang ideal ialah “memasukkan rakyat Indonesia ke dalam orbit kebudayaan penguasanya, supaya mereka memiliki peradaban Barat

Politik ethis juga disebut dengan nama politik paternalisasi atau perlindungan, karena rakyat Indonesia lebih dianggap sebagai objek daripada sebagai partisipan yang aktif di dalam pemerintahan. Peranan bangsa Indonesia tetap pasif dan seperti apa yang dikatakan oleh Boeke, sebuah pemerintahan “Chez vous, sur vous, saus vous”.

Jalan yang ditempuh oleh politik ethis paralel dengan ide asosiasi. Yang menjadi dasarnya ialah persatuan dan koperasi di antara anasir-anasir yang berbeda-beda di dalam masyarakat kolonial. Cita-cita kaum asosiasionis menghendaki supaya penjajah dan yang dijajah itu bertindak sebagai teman, sehingga semua rintangan yang berupa perbedaan ras akan dapat dilenyapkan.

Menurut anggapan mereka, waktunya belum cukup masak untuk merealisasikan suatu asimilasi yang mencakup persamaan secara mutlak. Ikatan solidaritas hendaknya dapat diterima. Peradaban Barat hendaknya terbuka bagi penduduk pribumi, janganlah hendaknya dipakai sebagai alat untuk menipu mereka. Orang-orang Barat hendaknya berkenalan dengan kebudayaan Timur. Selanjutnya kooperasi antara negeri induk dan tanah jajahan harus dilaksanakan atas dasar saling menghargai sifat dan tabiat mereka masing-masing, sehingga anasir-anasir yang beraneka ragam di dalam masyarakat Indonesia dapat hidup bersama-sama secara harmonis di dalam kerangka persatuan yang besar: Hindia Belanda.

Cita-cita politiknya ialah memberi tempat yang sama kepada semua warga Hindia Belanda. Untuk maksud itu dibutuhkan suatu ikatan yang kuat, yang hanya dapat diwujudkan kalau kekuasaan Belanda tetap kuat. Menurut kaum asosiasionis adalah tugas Negeri Belanda yang dipaksakan oleh sejarah untuk menciptakan perdamaian dan ketertiban serta menghormati pemerintah.

Lawan-lawan politik asosiasi dari pihak Indonesia menyatakan, bahwa di dalam kerangka itu supremasi Belanda mendapat garansi yang kuat dan dapat dipertahankan. Lagi pula cita-cita kaum asosiasionis tidak sesuai dengan gerakan untuk mendapatkan otonomi dan kemerdekaan. Para kritikus Belanda yang konservatif menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan asosiasi adalah suatu penyeleksian pada segolongan kecil individu untuk ditingkatkan pada taraf kultural dari peradaban Barat. Karena alasan itulah politik asosiasi disebut juga politik aristokratis dan tidak akan berhasil, karena ia mengasingkan masyarakat Indonesia sebagai suatu keseluruhan.  Pernyataan kritikus-kritikus yang lebih progresif lagi ialah bahwa kaum asosiasionis memberikan dasar bagi unifikasi, selama penduduk belum cukup matang untuk asimilasi. Karena itu yang menjadi tujuan kultural dari politik asosiasi ialah penyebaran kebudayaan Belanda pada umumnya dan perluasan pengajaran bahasa Belanda pada khususnya.

Sebagai reaksi, baik terhadap propaganda yang bersifat revolusioner maupun terhadap pernyataan Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum (1916-1921), dan juga dengan maksud untuk merealisasikan ide asosiasi, maka didirikanlah sebuah partai asosiasi Belanda, yang diberi nama Politiek Economische Bond (PEB). Tujuannya ialah untuk mewujudkan suatu bangsa Hindia dengan jalan kooperasi dengan rakyat pribumi di bawah pimpinan Belanda. Jadi PEB menentang gerakan “Bebas dari Holland”, maupun gerakan nonkoperasi. Pada prinsipnya PEB bukanlah menghendaki demokrasi yang murni dengan hak-hak yang sama, dan ia juga mendukung ide paternalisasi atau perlindungan.

Pada tahun-tahun berikutnya aliran tersebut terdesak ke sudut ketika arah perkembangan politik kolonial menunjukkan makin tajamnya pertentangan-pertentangan kepentingan dan kesadaran nasional makin mendalam sebagai akibat dari diskriminasi ras. Lebih-lebih politik Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum yang ingin mendahulukan kepentingan penduduk pribumi daripada golongan-golongan lainnya, makin memperlemah politik asosiasi.

Sebagai protes dari gabungan partai-partai terhadap politik itu, maka didirikanlah Vaderlandsche Club (VC), yang merupakan front kulit putih. Tujuannya ialah tetap mempertahankan pimpinan Belanda di Indonesia dan memperkuat ikatan-ikatan antara Indonesia dan Negeri Belanda, supaya kepentingan golongan-golongan Belanda di bidang ekonomi, sosial, dan finansial dapat terjamin. Pembentukan VC sebagai partai Eropa yang bersifat eksklusif merupakan suatu manifestasi dari arus konservatif di dalam politik kolonial Belanda. Sesuai dengan tujuannya, maka harus dibentuk Nederland Raya dengan Indonesia sebagai negara bagian yang berstatus otonom dari Kerajaan Belanda. Selama penduduk belum cakap untuk mengambil alih pemerintahan di dalam segala bidangnya, maka negeri induk tidak akan menyerahkan supremasinya. Tidaklah dibenarkan, bahwa proteksi Belanda akan dihapuskan. Tindakan itu dikatakan oleh Treub “membahayakan perdamaian dunia”. Cita-cita ini selaras dengan anggapan bahwa penduduk pribumi belum cukup masak untuk memegang pemerintahan sendiri, mereka masih jauh dari itu. VC menolak semua usul yang menuntut diadakannya perubahan-perubahan dan menginginkan kembalinya situasi tahun 1900, yaitu berlakunya sistem pemerintahan yang otokratis. Dengan demikian berarti VC memandang rendah kekuatan nasionalisme.

Perlu diterangkan di sini, bahwa Vaderlandsche Club dituduh oleh lawan-lawannya telah ditunggangi oleh kaum kapitalis dan selalu siap untuk mempertahankan kepentingan-kepentingan mereka. Tuduhan itu mempunyai dasar yang kuat dengan adanya isu tentang didirikannya Fakultas Indologi di Utrecht, yang seluruhnya dibiayai oleh Ondernemersbond dan oleh perusahaan-perusahaan besar. Reaksi dan kritik yang hebat dilancarkan oleh dua golongan, yaitu dari apa yang disebut Stuwgroep dari golongan Universitas Leiden. Sebelum kita membicarakan kedua aliran filsafat kolonial itu, baiklah kita meninjau ide-ide konservatif lainnya.

Pandangan Colijn hampir sama dengan Treub, yaitu tidak mengakui adanya persatuan Indonesia dan kemampuan rakyat untuk berdikari. Ia berpendapat, bahwa orang tidak dapat meyakini kapan datangnya waktu yang cukup masak untuk memberi otonomi kepada mereka.

Berdasarkan perbedaan-perbedaan yang esensial antara Timur dan Barat, Colijn mengingatkan, bahwa sifat Timur asli akan dipertahankan; terutama ia menekankan bahwa rakyat Timur tidak mempunyai kecakapan untuk melaksanakan otonomi. Ia menyetujui ide tentang hubungan yang kekal antara Indonesia dan Negeri Belanda, seperti ide aliran Leiden. Tetapi Colijn ingin mempererat hubungan itu dengan ikatan-ikatan materiel, sedang aliran Leiden lebih mengutamakan ikatan-ikatan spiritual. Sebagai seorang juru bicara dari sebuah partai agama yang sangat berpengaruh, yaitu Anti Revolutionaire Partij, ia menyatakan di dalam nada keagamaan, bahwa “politik kolonial tidak akan diorientasikan secara langsung kepada perpecahan dari apa yang telah dipersatukan oleh takdir Ilahi”. Politik Colijn itu dapat dipandang sebagai contoh yang tepat dari suatu politik kolonial Belanda yang konservatif.

Dalam hubungan ini orang akan teringat kembali kepada sebuah contoh dari sifat konservatif yang telah dibicarakan di muka, terutama Colijn mengingkari eksistensi bangsa Indonesia dan kesatuan rakyat yang bersifat organis. Menurut Colijn kesadaran yang ada hanyalah apa yang disebutnya suatu kesadaran-kepulauan. Dengan demikian, maka sudah cukup jelas, bahwa Colijn tidak mempunyai pengertian yang cukup tentang nasionalisme, sehingga mudahlah bagi kritikus-kritikusnya untuk merobohkan cara pemikirannya yang tidak realistis itu.

Aspek yang paling mencolok dari konservatisme Colijn ialah konsepsinya mengenai kemerdekaan Indonesia. Di dalam opininya kemerdekaan Indonesia harus ditetapkan oleh penjajah. Pihak penjajah juga yang menentukan kecepatan perkembangan koloni dan lamanya periode pemerintahan kolonial.

Nama Stuwgroep diambil dari sebuah majalah yang bernama De Stuw. Golongan ini terdiri atas kaum intelektual Eropa, yang sebagian besar menduduki jabatan-jabatan tinggi di dalam pemerintahan kolonial dan memperoleh pendidikan di Leiden. Perkumpulan ini menyatakan dirinya sebagai sebuah perkumpulan yang nonpolitik. Dasar cita- citanya ingin mengubah masyarakat kolonial menjadi masyarakat yang merdeka yang berjuang untuk mencapai persamaan dengan bagian-bagian lain dari dunia ini. Menjadi kewajiban kolonial yang utama untuk memajukan koperasi dan solidaritas di antara golongan-golongan yang ada. Dibayangkan, bahwa politik emansipasi pada akhirnya harus menelurkan otonomi di dalam lingkungan Common- wealth Hindia yang merdeka. Ternyata bahwa Stuwgroep tidak mendiskusikan tentang ritme, waktu, dan tidak menjalankan politik aktif. Persamaan yang jelas dengan Vaderlandsche Club ialah, bahwa Stuwgroep juga menginginkan terwujudnya ikatan-ikatan yang permanen antara negeri Hindia dan Negeri Belanda.

Dibandingkan dengan Vaderlandsche Club tentu saja Stuwgroep lebih progresif dan luas pandangannya. Stuwgroep tidak menjalankan kampanye yang merusak dengan menggunakan slogan-slogan yang chauvinistis. Sebagai tambahan perlu diterangkan, bahwa Stuwgroep tidak mengikuti ide asosiasi, pandangan ini dimiliki oleh VC. Sikap mereka terhadap masalah missi peradaban yang besar adalah negatif. Seperti dikatakan oleh Bousquet: “De Stuw lebih condong apabila Belanda tidak mengulurkan tangannya, karena De Stuw mempunyai pikiran, bahwa uluran tangan Belanda telah mengekang Hindia terlalu erat pada masa yang silam.

Untuk mengerti perkembangan aliran ideologi kolonial tersebut dengan lebih baik, maka kita harus menyusur kembali ke asalnya di Universitas Leiden, tempat Snouck Hurgronje mengasuh mata pelajaran politik bagi pegawai-pegawai sipil kolonial untuk masa lebih dari dua dasawarsa. Dia sangat terkenal sebagai bapak ide asosiasi, yang berkembang pada permulaan abad sekarang ini. Yang penting ialah keyakinannya bahwa kekuasaan Belanda di Indonesia merupakan suatu keharusan. *C. Snouck Hurgronje, Colijn over Indie, (Amsterdam, 1928) : Menurut kenyataan, konsepsinya mengenai politik kolonial dihubungkan dengan ajaran Islam di Indonesia. Menurut dia Westernisasi merupakan jalan yang terbaik untuk mengendalikan meluapnya gerakan di antara kaum muslimin.

Golongan lain yang pandangannya mendekati Stuwgroep ialah Leidsche Groep, yang juga mendukung politik yang bertujuan memberi status otonomi kepada Hindia Belanda, dan mendasarkan diri pada demokrasi dalam arti yang luas. Golongan ini memegang pimpinan dalam gerakan “Hindia- Bebas dari Holland”. Ia mengusahakan pengertian kolonial berlandaskan fondamen-fondamen Timur. Mereka mengetahui, bahwa anasir-anasir yang beraneka ragam pada masyarakat Indonesia mempunyai ciri-ciri yang sama di dalam lingkungan supremasi Belanda. Di samping itu golongan ini mengakui juga, bahwa rakyat Indonesia mempunyai ikatan politik yang baru dan penting, dan mengakui bahwa ikatan tersebut tumbuh secara teratur dan merupakan faktor yang tidak dapat diabaikan lagi di dalam kehidupan politik Hindia Belanda.

Dari sudut pandangan lawan-lawan mereka –golongan Utrecht, yang meliputi golongan pangusaha—golongan Leiden itu dikatakan mempunyai cita-cita ethis yang menyimpang dari realitas. Pendidikan di Leiden tidak mengajar para mahasiswanya untuk mengadakan perbedaan yang jelas antara teori-teori ethis dan kemungkinan-kemungkinan praktis yang aktual. Praktek kolonial tidak akan dikorbankan untuk teori yang muluk-muluk. Di dalam kritik mereka golongan Utrecht selanjutnya mengatakan, bahwa kepen- tingan umum dari negeri dan dari semua golongan akan diperhatikan. Suatu emansipasi total yang bersifat prematur hanya akan menganggu apa yang disebutnya evolusi yang tenang

Dari keterangan tersebut jelaslah, bahwa Leiden dapat dianggap sebagai eksponen yang idealistis dari kolonialisme Belanda, sedang golongan Utrecht mewakili golongan materialistis. Di dalam pertentangan ini, Colijn sebagai pemimpin Anti-Revolutionaire Partij menduduki tempat di tengah- tengah.

Ide Sintesis

Dengan adanya publikasi raksasa de Kat Angelino, maka lahirlah pendekatan baru terhadap masalah-masalah kolonial kemudian terkenal sebagai Ide Sintesis. Dia sadar sepenuhnya, bahwa ada persoalan kolonial yang besar yang harus diselesaikan. Dia mencari penyelesaiannya juga di dalam politik emansipasi kolonial dengan jalan membentuk Nederland Raya. Maksudnya—seperti dikatakannya sendiri —”mewujudkan masyarakat yang hidup secara organis dari semua rakyat di dalam lingkungan Negeri Belanda.

Seperti halnya dengan penulis-penulis atau ahli-ahli pikir sebelumnya de Kat Angelino menunjukkan, bahwa konsepsi kolonisasi dengan jalan menguasai atau menaklukkan sudah ketinggalan zaman. Sementara itu dunia kolonial di dalam kenyatannya tetap merupakan “sebuah kamar kanak- kanak yang mutlak harus ada babunya”. Dia tidak setuju dengan Kipling dan menyatakan bahwa Timur dan Barat dapat bekerja sama sebagai manifestasi solidaritas kemanusiaan atau panhumanisme. Peranan Barat bukanlah untuk mendesak Timur, tetapi untuk mengembangkan serta memajukannya. Barat dapat memberi kekuatan moral dan spiritual untuk memberi nafas kepada evolusi Timur, jadi mewujudkan kerja sama Timur—Barat yang selaras, dengan jalan menghargai sifat masing-masing di segala bidang. Faktor yang merintangi ide sintesis ini ialah perbedaan warna kulit.

Politik kolonial wajib memajukan sintesis ini dan memenuhi panggilan kepemimpinan Barat, terutama kewajiban moral, bukan hanya sekadar untuk mempertemukan Timur dan Barat, melainkan juga untuk membangun suatu masyarakat yang harmonis dengan Timur dan Barat sebagai komponen-komponennya. Menurut de Kat Angelino politik kolonial Belanda harus meninggalkan prinsip politik tak campur tangan dalam hal-hal tradisional secara keseluruhan, dan sebagai gantinya menerima politik sintesis dengan ketiga prinsipnya, yaitu memberi perlindungan, mengadakan konsolidasi kebudayaan Indonesia, dan mengadakan penyesuaian dengan perkembangan dunia modern.

Telah kita ketahui, bahwa ideologi kolonial makin dipandang sebagai masalah hubungan Timur—Barat yang paling luas. Hubungan itu ditinjau berdasarkan anggapan, bahwa peradaban Barat itu lebih tinggi dan berbeda sekali dengan kebudayaan Timur. Pemikiran tersebut mengingatkan kita kepada Eropa-sentrisme yang merajalela di dalam filsafat dan sejarah kolonial. Selanjutnya, cara pemikiran tersebut dapat juga dipandang sebagai rasionalisasi politik kolonial yang menginginkan paternalisasi dan perlindungan-perlindungan kolonial di dalam hubungan kolonial.

Ideologi kolonial di dalam segala manifestasinya terbukti dipengaruhi oleh pola pemikiran yang bersifat Eropa- sentris, yang di dalam terminologi politik kolonial dinyata-kan sebagai kepemimpinan Barat,  politik kewajiban moral, politik ethis, politik perlindungan, dan seterusnya.

Meskipun kata eksploatasi tidak dipergunakan lagi, tetapi ideologi kolonial tetap ditentukan oleh sifat kolonialisme yang eksploatatif. Bentuk yang diwujudkan untuk merasionalisasikan dan membenarkan kolonialisme menunjukkan adanya kesadaran, bahwa kolonialisme merupakan bagian dari filsafat kebudayaan yang lebih luas.

* Kutipan Buku : Pengantar Sejarah Indonesia Baru: SEJARAH PERGERAKAN NASIONAL  Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme, Jilid 2 , Sartono Kartodirdjo, PENERBIT PT GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA, JAKARTA , 1993 . Halaman 49 – 57.

Sumber : https://serbasejarah.wordpress.com/2014/08/20/kutipan-buku-ideologi-kolonial-belanda/