Latar Belakang Masukya Islam di Kerajaan Melayu dan Palembang
1. Kerajaan Melayu
Di Sumatra dan Kerajaan Melayu tidak terdapat satu bukti pun tentang dianutnya agama Islam oleh orang-orang Indonesia sebelum abad XVI. Baru 835 H ditemukan dua buah nisan di Brunei yang kemungkinan adalah muslim asing yang bernama Syarif Hud dan 710 H ditemukan makam muslim yang akhirnya mengungkapkan berkembangnya Islam di Indonesia yang dilakukan oleh pedagang Arab ke wilayah Melayu. Pada akhir abad ke XIII, Agama Islam telah menyebar ke Sumara Utara, abad ke XIV masuk di Melayu Timur, dan abad ke XV Agama Islam menyebar hampir ke seluruh Melayu (Ricklefs, 2005: 7-8), antara lain di beberapa kerajaan kecil yaitu:
Riau
Penyebaran agama Islam di Riau, dipandang dari sudut sejarah dan geografis melalui 2 jalan yaitu perdagangan luar negeri dan perdagangan antar daerah. Daerah Riau yang terletak di pinggir selat Malaka berada di tengah-tengah kerajaan Malaka sejak abad pertama masehi. Masuknya Islam di daerah ini tidak dapat dipisahkan kapan mulai adanya hubungan denagn Negara lain. Kedatangan pedagang Arab, Persia, ataupun India secara langsung ke daerah ini.
Pada pertengahan abad ke XIII,. Dinasti Abbasiyah mengalami keruntuhan dan pusat Islam berpindah ke Mesir, Maroko, dan Persia yang berhubungan langsung dengan Riau. Mereka inilah yang membawa Islam ke Riau dan di beberapa wilayah Riau yakni:
v Daerah Kuntu/Kampar
v Daerah Rokan
v Daerah Kuantan
v Daerah Gasib
v Daerah Tapung (Syair, Anwar, 1982: 67-71).
Bengkulu
Agama Islam tersebar di Bengkulu pada abad ke 16. Pengaruh agama Islam sangat besar terutama di bidang keagamaan, sosial, dan kebudayaan. Dijelaskan pada zaman Sultan Maulana Hasanudin (1552-1570) bahwa keadaan Banten sangat kuat. Sultan Hasanuddin pernah datang ke Lampung dan Silebar (Bengkulu) dengan diikuti kepala negeri Tulang Bawang., Pangeran Batu. Sungai Bengkulu menjadi batas kesultanan Banten. Daerah Silebar dihadiahkan pada Sultan Hasanudin. Sejak saat itu secara yuridis Lampung dan Bengkulu di bawah Kesultanan Banten. Selain itu, daerah Lmpung dan Bengkulu menghasilkan merica yang perlu dijual oleh saudagar-saudagar Islam asing yang berhubungagn pula dengan penyebaran Islam di Bengkulu oleh saudagar asing,
Dengan melebarnya pengaruh Banten hingga Bengkulu, maka agama Islam juga menyebar kesana dan menyusup seperti minyak jatuh di kertas. Sultan Hasanudin atau Sultan Sabakingking (1552-1570) menyebarkan agama Islam di Bengkulu dan Silebar. Perluasan wilayah oleh Sultan Hasanudin juga bercorak penyiaran agama Islam (Lapisan, Sjafei, 1984: 69-71).
Minangkabau
Baru sejak tahun 1513, pengislaman di daerah Minangkabau dilakukan secara intensif berkat usaha Tuanku Burhanudin Syah yang berkuasa di Panaman. Oleh karena itu, Tuanku Burhanudin Syah berusaha mendidik para ulama kemudian enyiarkan Islam secara menyeluruh di wilayah Minangkabau.
Aliran Islam yang ada di Minangkabau saat itu adalah aliran Syiah yang hidupnya secara bebas dan sering melanggar agama dan sering terjadi perselisihan dengan kaum adat. Sejak 1803 kehidupan muslim Syiah makin mengkhawatirkan terutama terjadi ketegangan dengan 3 Perwira yaitu Haji Piobang, Haji Sumanik, dan Haji miskin yang mempelopori gerakan Wahabi untuk menentang ajaran Syiah yang kurang disegani oleh kaum adat (Marsden, 2008: 305).
Jambi
Dalam catatan sejarah Jambi, Islam masuk dibawa oleh Datuk Paduko Berhalo atau Ahmad Salim antara tahun 1300 sampai 1400. Sebagai mana diketahui bahwa Ahmad Salim adalah utusan dari Kerajaan Bani Usmaniah di Turki. Ahmad Salim membawa agama Islam dari Turki melalui pantai Timur Jambi atau tepatnya di Kabupaten Tanjung Jabung Timur. Dari sini Agama Islam menyebar ke seluruh pelosok Jambi.
Dengan ditemukannya surat yang dikirim oleh Sulaiman bin Abdul Malik raja Umaiyah ke VII kepada raja kerajaan Sriwijaya Jambi bernama Seri Maharaja Serindra Wennan pada tahun 717 di Grenada Sepanyol maka terpatahkanlah pendapat selama ini yang mengatakan kerajaan Islam pertama di Indonesia terletak di Aceh. Bahkan menurut Azyu Marzi Arza dalam buku Jaringan Islam Nusantara bahwa kerajaan Islam pertama di Indonesia terletak di Jambi
2. Kerajaan Palembang
Islam masuk ke Palembang diperkirakan pada awal abad ke-1 hijriah atau abad ke-8 Masehi. Seperti halnya penyebaran Islam ke belahan wilayah Nusantara lainnya, sumber-sumber sejarah menyebutkan penyebaran Islam ke kota Palembang juga melalui jalur pelayaran dan perniagaan. Para pedagang muslim dari Arab, Cina dan India yang berusaha di kota ini sangat diterima oleh masyarakat Palembang yang pada waktu itu masih di bawah naungan Kerajaan Sriwijaya. Interaksi pedagang muslim dari mancanegara ini dengan komunitas penduduk setempat cukup tinggi dan baik, sehingga penerimaan Islam di kalangan penduduk berjalan damai.
Kedatangan pedagang muslim asing tersebut disebabkan terjadinya peristiwa pemberontakan petani-petani Cina terhadap kekuasaan T’ang pada masa pemerintahan Kaisar Hi-Tsung (878-889 M). Kaum muslimin banyak yang mati dibunuh dalam pemberontakan itu, sehingga mereka yang selamat melarikan diri ke berbagai negara, termasuk ke kota Palembang, yang menjadi pusat Kerajaan Sriwijaya dan Kedah, Malaysia. Penguasa dinasti Sriwijaya menerima eksodus kaum muslim ini dan akhirnya mereka membentuk komunitas muslim di wilayah kekuasaan kerajaan maritim tersebut. Lambat laun, Islam tersebar ke pelosok negeri, bahkan keberadaan kaum muslimin yang umumnya berniaga tersebut dilindungi pihak penguasa kerajaan Sriwijaya, guna menjaga kepentingan bisnis keluarga mereka.Apalagi, Islam disebarkan lewat sikap toleransi yang tinggi dengan ajaran-ajaran yang bersifat rasional dan transparan, sehingga dapat diterima rakyat kebanyakan. Masuknya Islam ke Palembang sama sekali tidak mengandalkan kekuasaan (power).
Sepanjang abad ke-7 hingga abad ke-14 M, Islam di kota Palembang tumbuh dan berkembang dengan pesat. Bersamaan dengan itu, masa keemasan Kerajaan Sriwijaya berangsur-angsur mulai pudar, sehingga akumulasi komunitas kaum pedagang muslim makin mengental. Tokoh-tokoh ulama dan pemuka masyarakat dengan intensif membina umat pada awal memasuki abad ke-15 M. Namun perkembangan dan penyebaran Islam ke pelosok-pelosok pedalaman di Sumatera Selatan bukan tidak ada tantangan. Pada zaman kolonial Belanda yang bercokol di Nusantara sangat tidak menginginkan Islam maju. Dengan berbagai cara dan upaya, Islam harus dihambat.
Bagai menekan bola di air, umat Islam justru merapatkan barisan dengan semangat patriotisme, jihad fisabilillah, menentang penjajahan Belanda. Peranan ulama Syech Abdul Al-Samad Al Jawi Al Palembani sangat besar pasca berakhirnya kerajaan Palembang pada awal abad ke-19 M. Penentangan terhadap kolonial Belanda tidak pernah surut di kalangan umat Islam, bahkan semakin bergelora. Perang Aceh dan perlawanan rakyat di Jawa diilhami ajaran Palembang. Penentangan juga terjadi pada rentang waktu pertengahan abad ke-16 M sampai awal abad ke-19 M yang dipelopori Pahlawan Nasional Sultan Mahmud Badaruddin II, yang memerintah Kesultanan Palembang Darussalam pada 1803-1831 M
Sumber : http://dianifan.blogspot.com/2012/11/latar-belakang-masukya-islam-di.html