SEJARAH DAN 3 KEUTAMAAN KEBAHAGIAAN IDUL FITRI

Ditulis kembali Oleh Andrico Nasuwitra

Sumber :

http://www.pesantrenvirtual.com

Tidak terasa satu bulan penuh kita telah menjalankan ibadah puasa Ramadhan, satu bulan kita telah berhasil menahan lapar dan dahaga dari terbitnya fajar hingga terbenam matahari. Di saat bulan penuh berkah, rahmat dan ampunan itu telah pergi, hari ini kita dipertemukan dalam momen kegembiraan, yaitu hari raya idul fitri. Kalau kita artikan secara tekstual, bermakna "hari berbuka" atau "hari kembali kepada fitrah", fase kehidupan manusia yang dianggap suci, bersih dan terbebas dari segala dosa.


Di hari kemenangan ini, mungkin di antara kita ada yang bertanya-tanya: kegembiraan apa yang patut kita rayakan pada saat idul fitri tiba? Apakah hanya sekedar datang dan berlalunya "suatu hari" tanpa ada arti sebagimana hari-hari yang lain? Atau ada sebuah keistimewaan yang patut kita banggakan di hari ini?


Pada kesempatan kali ini, saya akan mengupas tentang tiga kebahagiaan bagi komunitas muslim dalam menyambut datangnya idul fitri. Yaitu; Bahagia telah sempurna menemui bulan Ramadhan, dengan menjalankan perintah puasa, bahagia telah berbagi kepada saudara se-iman, dengan menunaikan kewajiban zakat fitrah, dan bahagia dengan kesempatan halal bi halal atau bersilaturrahim, saling mema'afkan segala kesalahan menghapus luka yang pernah tergores dan mempererat hubungan persaudaraan.

 

 

 

 

 

 


Bahagia telah sempurna menjumpai Ramadhan:


Harus kita akui bahwa berhasil menjumpai bulan Ramadhan, dengan kondisi fisik dan mental yang sehat, sehingga mampu melaksanakan perintah puasa dengan khidmat, adalah anugerah besar dari yang maha kuasa, sahabat Ali bin Abi Thalib Ra (w: 40 H / 661 M) berkata: "Sehat jasmani adalah anugrah yang paling indah"


Kita bisa membayangkan, bagaimana orang-orang yang pergi ke alam baqa' (meninggal dunia) sesaat menjelang datangnya bulan Ramadhan, mereka tidak bisa menjumpai bulan yang penuh berkah, rahmat dan ampunan. Padahal, melalui ibadah di bulan Ramadhan, kita diberi bonus pahala berlipat dan kesempatan untuk melebur dosa-dosa yang pernah dilakukan. Rasulullah Saw - dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Muslim - menjelaskan bahwa Ramadhan adalah bulan penuh ampunan.


Atau tidak sedikit saudara-saudara kita yang pada saat tiba bulan Ramadhan dalam keadaan sakit, fisik maupun mentalnya tidak sehat, sehingga tidak bisa menjalankan kewajiban ibadah puasa, atau kalaupun tetap menjalankan, tidak dengan khidmat sebagaimana orang yang normal kesehatannya. Tentu saja dengan uzur sakit, mereka itu tidak bisa merasakan bagaimana nikmatnaya saat berbuka, saat bersahur, bagaimana nikmatnya kita mampu mengendalikan hawa nafsu dengan sedikit mengekang hasrat jasmani dan biologis. 

Dalam satu kesempatan, ulama besar di zaman tabi'in (setelah zaman para sahabat Nabi) imam Ibnu Sirin, (w: 110 H / 728 M) berterus terang bahwa urusan hawa nafsu adalah urusan yang paling pelik dalam hidup ini, ia berkata: “Aku tidak pernah mempunyai urusan yang lebih pelik ketimbang urusan jiwa”. Betapa urusan jiwa yang menyangkut pengendalian hawa nafsu adalah kendala besar yang kerap merintangi hidup manusia, Rasulullah Saw dalam hal ini mengingatkan: "Jalan ke sorga dilapangkan dengan mengendalikan hawa nafsu, sedangkan jalan ke neraka dilapangkan dengan menuruti hawa nafsu" (HR. Bukhori dan Muslim)

 

 


Dengan tibanya idul fitri ini, sangatlah wajar jika kita berbahagia menampakkan kegembiraan bersama, bukan atas dasar telah berlalunya bulan suci Ramadhan, akan tetapi kebahagiaan ini dilandaskan pada keberhasilan kita dalam mengekang hawa nafsu dalam kadar dan rentang waktu tertentu.

 


Bahagia dengan peduli terhadap sesama:

 

Kebahagiaan kedua yang semestinya kita rasakan pada momen datangnya hari raya idul fitri adalah, kita telah mengeluarkan zakat fitrah. Sebuah ibadah yang tidak lain sebagai bentuk penyucian diri setiap muslim sekaligus sebagai penyempurna puasa Ramadhan.

Zakat fitrah merupakan salah satu ibadah yang berdimensi horisontal. kalau kita perhatikan secara kasat mata, sangatlah sepele, tidak membutuhkan jumlah harta yang berlimpah, akan tetapi setiap muslim yang pada saat tibanya idul fitri memiliki kebutuhan pokok untuk dirinya, keluarga dan orang yang harus dinafkahinya, maka dia berkewajiban untuk mengelurakan zakat. Nominasi harta yang dikeluarakan pun sangat sedikit, hanya 1 Sha' sekitar 2,5 kg makanan pokok setempat, atau bisa diuangkan sesuai dengan standar harganya.  
Berbeda dengan zakat harta, zakat hewan ternak, zakat hasil bumi, zakat profesi dan zakat niaga, jenis-jenis zakat ini hanya bisa ditunaikan oleh kalangan berada saja. Maka dari itu, prosentasi muslim yang berkewajiban mengeluarkan zakat fitrah jauh lebih banyak dari pada zakat-zakat tersebut, hal ini sesuai dengan maqasid (tujuan) disyari'atkannya zakat fitrah yaitu untuk mengembalikan setiap manusia pada fitrahnya.


Kalau sejenak kita menengok maqasid (tujuan) dan hikmah diwajibkannya ibadah zakat secara umum, ternyata ajaran Islam, disamping mengupayakan kesucian diri setiap insan, juga mengharapkan kesucian dan keberkahan harta benda yang dimilikinya. Dalam al Qur'an di jelaskan, saat Allah Swt memerintahkan Muhammad Saw untuk merealisasikan kewajiban zakat kepada para sahabatnya: "Ambilah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan – dan mensucikan - mereka" (Qs. at Taubah: 103).

 


Dalam kesempatan lain Allah Swt menjelaskan: " Dan sesuatu riba yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah di sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridha'an Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan " (Qs. Ar Ruum: 39)

Kalau demikian kenyataannya, maka kesempatan kita untuk menjalankan kewajiban zakat fitrah, adalah suatu kebahagiaan tersendiri. Kita telah diberi kesempatan oleh Allah Swt untuk mensucikan jiwa sekaligus mewujudkan rasa peduli terhadap kondisi di sekitar kita. Bagaimanapun kebahagiaan dalam menyambut datangnya idul fitri, juga berhak dirasakan oleh kaum miskin yang sama sekali tidak memiliki makanan pokok saat hari raya tiba. 


Berbahagia dengan bersilaturrahim:


Tradisi “halal bi halal” yang ada di setiap hari raya idul fitri adalah kesempatan bagi kita untuk bersilaturrahim. Tentunya silaturrahim dalam maknanya yang luas, yaitu saling memafkan atas segala kesalahan yang pernah dilakukan, saling mempererat hubungan persaudaraan atas dasar keimanan dan kebangsaan, bukan hanya sebatas persaudaraan atas dasar kekerabatan dan hubungan nasab keturunan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam al Qur’an: "Sesungguhnya orang-orang mu'min adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu" (Qs. Al Hujurat: 10)


Sebagaimana kita semua sadari, bahwa interaksi keseharian dalam komunitas umat manusia akan selalu di warnai dengan berbagai hal, sesuai dengan situasi dan kondisi. Adakalanya baik ada kalanya buruk, kadang damai kadang konflik. Implikasi dari hubungan keseharian antar sesama manusia ini tidak selamanya menyakitkan sehingga menimbulkan kebencian, begitu juga tidak semuanya menyenangkan sehingga menimbulkan kecintaan, pada saat-saat tertentu emosi, egois dan kesombongan bisa saja menguasai diri kita.  

Implikasi buruk yang kita terima dari sikap orang lain, begitu juga kelakuan tidak bersahabat yang kita tunjukkan kepada orang lain, baik dengan penuh kesadaran  maupun dalam ketidaksadaran, harus kita netralisir dengan bersilaturrahim. Kita percaya, bahwa hari raya idul fitri sebagai momen yang tepat untuk menetralisir atau paling tidak meminimalisir ketegangan hubungan antar sesama umat manusia. Rasulullah Saw bersabda : "Wahai manusia, tebarkanlah kedamaian dan sambunglah persaudaraan" (HR. Ahmad dan Tirmidzi)

Melalui silaturrahim, kita juga akan mendapatkan hikmah dan faedah yang luar biasa. Di antaranya; akan mempermudah segala urusan, bisa menjalin partner usaha, dan memperbanyak kolega yang tentunya akan saling menguntungkan dalam bekerjasama. Dalam satu kesempatan Rasulullah Saw bersabda: "Barangsiapa yang ingin dijembarkan rezekinya dan dipanjangkan usianya maka sambunglah persaudaraan" (HR. Bukhori dan Muslim). Sebagian ulama mengartikan kalimat "panjang usia" dalam hadist di atas dengan makna "keberkahan hidup".



Akhir tulisan:


Kita semua berharap, mudah-mudahan hari raya idul fitri kali ini adalah momen yang dapat mengembalikan pada fitrah keimanan kita, di mana idul fitri datang setelah kita menyelesaikan proses latihan mengendalikan jiwa melalui puasa Ramadhan, ia tiba dibarengi dengan kewajiban zakat fitrah yang merupakan wujud kepedulian, dan ia juga datang dengan tradisi “halal bi halal” sebagai upaya mempererat tali persaudaraan dan persahabatan. Tidak lain, tiga kebahagian yang kita rasakan sekaligus dalam momen hari raya idul fitri adalah anugerah dari Allah Swt yang wajib kita syukuri. "Katakanlah: Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. " (Qs. Yunus: 58)

Penulis adalah anggota dewan mustasyar pesantren Assalafie Babakan Ciwaringin Cirebon, sedang menyelesaikan program S3 bidang Maqasid Syari’ah dan problematika kemanusiaan di universitas Mohammed V Maroko

 

 

 

 

 

 

MAKNA HARI RAYA IDUL FITRI

Sumber : http://bkd.jogjaprov.go.id/detail/makna-hari-raya-idul-fitri/158

Arti Idul Fitri bagi setiap orang yang ada adalah kebahagiaan dan kemenangan,  dimana pada hari itu, semua manusia merasa gembira dan senang karena telah melaksanakan ibadah puasa sebulan penuh.

Dalam tradisi Idul Fitri di Indonesia ditandai dengan adanya ”mudik (pulang kampung)”dan mereka memakai sesuatu yang baru, mulai dari pakaian baru, sepatu baru, sepeda baru, mobil baru dan lainnya, Bagaimana sebenarnya makna dari Idul Fitri itu sendiri. Apakah Idul Fitri cukup ditandai dengan sesuatu yang baru, atau dengan mudik untuk bersilaturrahim kepada sanak saudara dan kerabat..

Idul Fitri (kembali suci), adalah Hari raya setelah umat Islam melaksanakan ibadah puasa Ramadhan satu bulan penuh, dinamakan Idul Fitri karena manusia kembali suci seperti bayi  yang tidak mempunyai dosa dan salah.


Seiring dengan perkembangan jaman, manusia dalam perjalanan hidupnya banyak melupakan Allah serta telah melakukan dosa dan salah kepada Allah dan kepada sesama manusia, untuk memahami kembali makna Idul Fitri (kembali ke fitrah) dengan membangun kembali menjadi hamba-hamba Allah yang taat dan tidak mempunyai dosa. Dosa kepada Allah terhapus dengan jalan bertaubat dan dosa kepada sesama manusia dapat terhapus dengan silaturrahim.

Dosa merupakan perbuatan manusia karena tidak menjalankan perintah atau melanggar larangan Allah dan RasulNya.

Bulan Ramadhan merupakan bulan pengampunan/maghfirah dan bulan Ramadhan menjadi sarana umat manusia untuk memohon dan meminta pengampunan dari Allah dengan jalan melaksanakan ibadah puasa dan shalat tarawih. Sebagaimana hadis Rasul:

 

Barangsiapa yang berpuasa pada bulan ramadhan dengan kepercayaan bahwa perintah puasa itu dari Allah dan hanya mengharap pahala dari Allah akan diampuni dosanya (Dari Muhammad bin Salam dari Muhammad bin Faudhail dari Yahya bin Sa’id dari Abi Salamah dari Abi Hurairah)

Apabila kita sebagai hamba Allah melaksanakan puasa dan shalat tarawih dengan tulus mencari ridho dan pahala dari Allah, niscaya dosa dan kesalahan kita kepada Allah diampuni sehingga kita menjadi hamba Allah yang bersih dari dosa, setelah dosa kita diampuni Allah, maka tahapan selanjutnya adalah membersihkan dosa kita kepada sesama manusia.

Idul Fitri atau kembali ke fitrah akan sempurna apabila terhapusnya dosa kita kepada Allah diikuti dengan terhapusnya dosa kita kepada sesama manusia, terhapusnya dosa kepada sesama manusia dengan jalan kita memohon maaf dan memaafkan orang lain.

Nah, dengan momentum Idul Fitri kita jadikan sebagai sarana meminta maaf dan memaafkan orang lain dengan bersilaturrahim (menyambung kasih sayang) baik kepada suami atau istri, kedua orang tua, anak, keluarga, sanak kerabat, tetangga serta teman dan relasi kita ketika ada kebencian terhadap mereka. Sebab kasih sayang merupakan lawan dari kebencian, sehingga orang yang dalam dirinya ada kebencian pada suami atau istri, orang tua, anak, keluarga, sanak kerabat, tetangga, teman dan relasi disebut dengan memutus tali silahturahmi, orang yang memutuskan silahturahmi tidak akan masuk surga.

Di samping kita meminta maaf, kita harus dan wajib menjadi pribadi pemaaf, memberi maaf berbeda dengan meminta maaf, kalau memberi maaf terjadi ketika ada orang yang meminta maaf, sedang meminta maaf adalah orang yang memohon maaf atas kesalahannya.  Dalam surah Ali-Imran (3) ayat 134 :

“Penghuni surga adalah orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”.

 

 

Semoga Hari Raya Idul Fitri kali ini dijadikan moment untuk memahami makna Idul Fitri, dengan maksimalkan bersilaturahim untuk meminta maaf, memberi maaf dan menjadi seorang pemaaf. Jangan biarkan kedengkian dan kebencian merasuk kembali ke jiwa kita yang telah fitri (suci). (Diambil dari berbagai sumber-iin/program)