Banyak peristiwa budaya masyarakat Kampar masa lalu yang belum dicatat atau dipublikasikan dengan baik. Satu diantaranya adalah Batobo. Ia bahasa ocu asli yang diartikan dalam bahasa Indonesia gotong royong secara bergantian ke sawah masing masing anggotanya, mirip arisan tetapi bukan uang melainkan kerja kesawah. Kegiatan batobo saat ini sudah kelihatan mau menghilang di bumi kampar, kalaupun ada tinggal sedikit dibeberapa daerah pinggir. Itu pun sudah sulit terlihat.
Batobo dilakukan dengan inten semasa tahun 80an kebawah. Kampar adalah daerah agraris, masyarakat yang bertanam padi disawah dan berladang padi dihutan. Semangat kekeluargaan yang tinggi dengan didasari masyarakat agamis khususnya Islam, menjadikan kegiatan batobo berjalan sukses selama sampai tahun 80an. Sejak itu ia mulai memudar dan hampir hilang dan tidak tertulis pada catatan masyarakat, sehingga anak cucu masyarakat Kampar hari ini hampir tidak mengenalnya lagi. Oleh karena itu penulis ingin menceritakan secara detil kegiatan batobo ini.
Setiap kepala keluarga masa dahulu memiliki tanah garapan atau hutan garapan, bumi kampar pada tahun 80an kebawah adalah pemandangan berupa tanaman padi menghijau musim bertanam, dan padi menguning pada musim panen. Ketika itu belum ada tanaman kebun Sawit di Kampar, 75 % masyarakat memiliki sawah dan hutan untuk ladang dengan pola bakar yang disebut dengan istilah manugal padi. Orang tua masa itu dapat memberi makan keluarga tampa membeli beras, kerena setiap kelurga memiliki beras produk sendiri.
Cara mengerjakan sawah tersebutlah yang disebut dengan istilah batobo. Satu kelompok tani batobo terdiri dari 10 sampai 30 orang. Nampaknya mereka menyusun daftar secara lisan dan kompromi ke sawah siapa yang pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Ketika seluruh anggota bekerja di sawah A, maka A bertanggung jawab menyediakan makan-minum untuk pekerjaan hari itu, begitulah seterusnya bila giliran yang lain pada hari berikutnya. Seandainya ada seseorang anggota sakit, dia tidak dapat mengikuti kegiatan batobo, maka hal ini menjadi hutang bagi si sakit yang tidak hadir batobo, saat dia sehat nanti dia akan membayar hutangnya lewat pekerjaan pada kebun tempat dia berhutang.
Indahnya batobo semakin menarik, saat menghadapi pekerjaan ibu ibu bergantian berpantun sebagai pengganti musik atau hemstry anak anak sekarang {Lewat HP }. Contoh Mak anga berpantun” Banyak hari antaro hari, tidak semulia hari jumat, banyak nabi antaro nabi, tidak semulia nabi Muhammad” disambung oleh Mak buyung “ Kanak kanak dalam surogo, dapek anak susah mambolonyo” disambung oleh ibu yang lain” Pulau pandan jauh ditonga, nampak angso ba anak duo, hancur badan dikanduong tanah budi yang baik takonang juo” begitulah seterusnya, ibu ibu yang lain saling terhibur sampai pula waktu istitrahat, makan siang, dilanjut sholat zuhur, kemudian pekerjaan diteruskan menjelang asyar. Pantun berganti pantun sambil mencangkul sawah terus berlalu. Selama musim batobo (mencangkul sawah bergotong royong, bergantian di kebun sesama angggota batobo).
Masyarakat Kampar yang gemar bertani secara manual/ mencangkul sawah yang dikerjakan ibu ibu selalu menjadi sesuatu yang negativ oleh orang daerah lain yang tidak mengerti keadaan sebenarnya, mereka mengira kaum bapak atau laki laki hanya nokrong dirumah sebenarnya tidak demikian. Kaum lelaki adalah penyadap getah karet, mereka pergi setelah subuh dan pulang jam 10 pagi. Melihat situasi inilah orang daerah lain mengira kaum lelaki Kampar bersantai santai dirumah saja.
Sambil bertobo pada musim padi, keluarga keluarga masyarakat kampar gemar berternak kerbau. Dipekarangan rumah terlihat jelas kandang kerbau atau kandang kambing, beginilah kehidupan masa lalu, kenyataan hari ini sudah memudar. Semuanya sudah instan, mau beras tinggal beli di Pasar/ kedai, mau daging tinggal beli di Pasar daging. Masyarakat tidak menyediakan sendiri seperti dulu. Maka setiap tahun kampar kekurangan sapi atau kerbau untuk daging potong korban pada hari raya Kurban lebih kurang 27 ribu ekor, kebutuhan hari hari biasa dalam setahun kekurangan hampir 100 ribu ekor. Para pedagang daging harus memenuhi kebutuhan dengan cara membeli ke propinsi lain.
Kegiatan batobo masyarakat sudah menghilang tetapi semangat batobo masyarakat masih ada, bisa dihidupkan kembali contohnya seperti mengemas bentuk lain yaitu KOPERASI atau kelompok tani, kelompok sawit, kelompok perikanan darat dan lain lain. Maka cerita ini kami angkat kembali agar para masyrakat dapat menyadari betapa pentingnya semangat Batobo diwarisi oleh generasi Kampar agar jangan mereka terjebak dalam keindividuan ( Ego sentris ). Masih banyak nilai positiv semangat batobo yang harus dilanjutkan. Mudah mudahan masyarakat kampar kedepan dapat meneruskan dalam bentuk yang lebih modern seperti pemilik saham di beberapa perusahaan daerah atau nasional. Jangan sampai pekerjaan daerah atau usaha daerah sahamnya dimiliki oleh PMN dan PMA atau sejenisnya semua, Orang Kampar harus berada di depan dengan semangat batobonya. Semoga sukses.
(Penulis adalah Kepala Kantor Perpustakaan dan Asip kabupaten Kampar)