Dewasa ini hiruk pikuk tentang Ujian Nasional SMP/MTs dan SMA/SMK serta Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN) bagi SD melalui media masa selalu kita lihat dan dengar, mulai dari masalah dana ujian sampai dengan berita tertangkapnya guru membantu siswa ujian alias masuk penjara. Hal ini sangat memilukan hati kita semua, terkhusus para praktisi pendidikan. Eksistensi Profesi guru sedang diuji oleh publik, tetapi apakah masalah pendidikan ini hanya sekedar persoalan ujian nasional, sehingga sering terabaikan konsep universal pembangunan pendidikan? Kalau semua pihak ditanya, apakah anda ingin melihat atau mendapatkan pendidikan yang bermutu? Semua pasti menjawab “yes”. Jika diteruskan pertanyaan apa kontribusi Anda terhadap pendidikan tanah air ini? Banyak yang menjawab “tidak tahu, itu tugas guru atau sekolah” Disinilah mulai munculnya berbagai kesenjangan (fenomena) pendidikan tanah air kita. Belum lagi kalau kita adakan pengkajian tentang realita perjalanan sistem pendidikan.. Akan bermunculan beragam ketimpangan dalam praktek sistem pendidikan itu.
Sejak pemerintahan otonomi daerah bergulir tahun 1999 sampai sekarang muncul fenomena baru dunia pendidikan yakni bermunculan kepala dinas pendidikan tingkat propinsi dan kabupaten/kota dibeberapa daerah otonomi berasal kalangan birokrat yang background pendidikannya adalah ahli jembatan, ahli pertanian, ahli pemerintahan (STPDN), ahli perikanan,ahli ekonomi dan kalangan serjana hukum, sangat jarang dari background pendidikan dan keguruan/managemen pendidikan/ teknologi pendidikan. Mereka ramai-ramai mau mengurus pendidikan walaupun tidak mengerti subtansial pendidikan, kehadiran mereka tidak terlepas dari interpensi beberapa kalangan di daerah termasuk politisi.. Pada tulisan ini saya mengajak semua komponen bangsa berdiskusi untuk memperbaiki pendidikan di tanah air melalui judul “ Membangun Pendidikan Berkualitas, Bukan sebuah Retorika “.
Saya jelaskan dari belakang bagian judul. “Bukan sebuah retorika “ artinya adalah bukan hanya sekedar permainan kata, pengenak bicara, ide-ide dongeng, bualan kosong, sekedar teori tampa praktek atau lip-service dalam kompanye dan lain-lain tetapi harus menjadi sebuah kenyataan yang dijalankan betul-betul demi terbangunnya pendidikan yang berkualitas.. Membangun pendidikan Berkualitas artinya sangat jelas yakni mencetak generasi bangsa melalui proses pendidikan menjadi generasi yang berkualitas / SDM handal yang sangat diharapkan oleh negeri ini untuk menjadi negara maju / moderen. SDM yang mau dibangun itu ada tiga kelompok; kepentingan persaingan manca negara, kepentingan Nasional, dan kepentingan lokal. Maka pendirian sekolah seperti yang dianjurkan undang-undang ada sekolah internasional, sekolah standar nasional, sekolah keunggulan lokal. (Pasal 50 UUSPN Nomor 20 Tahun 2003).
Bagaimana membangun pendidikan yang berkualitas? Sangat sederhana sekali, kita harus mulai dengan memperbaiki atau membangun komponen pendidikan setingkat standar atau lebih. Pendidikan itu merupakan sebuah sistem. Artinya ia terdiri dari beberapa komponen sebagai pilar, penyangga atau bagian pendidikan. Seluruh komponen pendidikan itu harus dibangun secara menyeluruh / universal , serentak terencana dan berkala, bukan dipegang satu atau dua komponen saja. Apa komponen pendidikan itu? Lihat undang-undang sistem pendidikan nasional nomor 20 tahun 2003 pasal 35 ayat 1 sampai 4. Yakni diperbaiki isi pendidikan (kurikulum), proses pendidikan/ regulasi perjalanan, kompetensi lulusan, tenaga pendidik dan kependidikan, sarana & prasarana, pengelolaan / managemen, pembiayaan,dan penilaian (8 Komponen).
Sehubungan dengan program pemerintah secara makro memotivasi pembangun 8 standar pendidikan terhadap daerah seperti yang diamanatkan oleh undang-undang, penulis melihat daerah terkhusus Dinas pendidikan tidak aspiratif terhadap perbaikan 8 komponen itu secara optimal. Dia tidak menyentuh semua komponen secara proporsional. Hal ini terjadi kemungkinan saja kerena para perencana pendidikan kita tidak bekerja melalui proses yang sistimik.Perencanaan pendidikan sering dicerna atau diolah oleh satu atau dua orang saja/ birokrat pendidikan. Penganmbilan kebijakan tidak melalui penglibatan para praktisi pendidikan dari bawah sebagai input perencanaan.
Membangun pendidikan lewat Standar Isi. Hal ini artinya mata pelajaran yang di arahkan dari pusat seterusnya sekolah atau daerah mengembangkan silabus mata pelajaran, rangkaiann kesemuanya disebut dengan istilah baru Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Namun demikian ada beberapa mata pelajarann yang merupakan keunggulan daerah/ muatan lokal, ini belum ada pedomannya, sebaiknya pakar pendidikan daerah merumuskan pedoman/ kurikulum muatan lokal sehingga sekolah dengan mudah mengembangkan silabus mata pelajaran muatan lokal. Tentu hal ini difasilitasi oleh pemerintah daerah/ dinas pendidikan melalui proyek pembangunan dunia pendidikan dibidang kurikulum. Hal ini beberapa tahun ini hampir terlupakan dalam perencanaa pendidikan kita di daerah. Jika Isi pendidikan tidak menjadi bagian dari pembangunan pendidikan, maka sangat jelas bahwa pendidikan itu tidak akan bermutu. Tinggal pendidikan asal jalan.
Membangun pendidikan lewat standar proses. Dalam proses pendidikan di sekolah- sekolah harus mengikuti jenjang dan tingkat yang sudah diatur. Pendidikan dasar adalah 9 tahun, menengah 3 tahun dan perguruan tinggi. Mata pelajaran yang diajar jumlah waktu pertemuan dan lama satu pertemuannya sudah diatur menitnya dengan baik.Dalam aturan itu juga sudah diatur kriteria kelulusan dan naik kelas. Dalam pandangan yang lebih teknis yakni didalam ruang kelas terdapat Proses Belajar Mengajar atau proses pembelajaran. Disini perlu ilmu guru tentang beragam metodologi, misalnya metode pembelajaran terkini, penggunaan Information Communication Technology (ICT). Guru kita harus bisa menjadi fasilitator terhadap siswa dalam membimbing siswa belajar. Nah alat-alat untuk kegiatan ini secara simultan harus kita bangun/ kita sediakan . Kita harus sadar bahwa ilmu itu tidak lagi hanya lewat buku-buku referensi tetapi sudah mulai bergerak penggunaan jasa internet dengan membuka situs tertentu untuk mencari sumber belajar baru. Dinas pendidikan kita harus mengarah pembangunan pendidikan di bidang proses ini mungkin melalui pelatihan guru dan penyedian fasilitas pendukung. Sebaiknya juga pemerintah menyediakan ketersedian akses internet wireless seperti yang sudah saya lihat dibeberapa negara tetangga kita, Singapore dan Kuala lumpur sementara guru-guru kita terus berproses dengan kotoran atau debu kapur didepan kelas sambil murid menganga. Guru kita juga harus dilatih untuk membimbing cooperative learning siswanya, juga metode Contextual Teaching Learning (CTL). Bagian ini harus ada dalam perencanaan pembangunan pendidikan daerah kita.
Pembangunan pendidikan dibidang Kompetensi Lulusan. Pemerintah melalui Badan Nasional StandarPendidikan (BNSP) sudah menetapkan Standar kompetensi Luliusan disetiap jenjang dan tingkat pendidikan. Persoalannya sejauh mana keterlibatan dinas pendidikan didaerah mengatur pelaksanaannya. Harus diluangkan juga waktu dan dana untuk sosialisasi dibidang ini oleh Dinas pendidikan daerah baik propinsi maupun kabupaten terhadap guru guru kita. Dalam hal ini pemberdayaan pengawas sekolah masih lemah yang seharusnya menjadi ujung tombak dinas pendidikan mengsosialisasikan SKL ini. Jika terus dikembangkan, kemampuan intelektual guru-guru kita harus dibangun kearah penulisan buku / makalah yang mengarah kepada SKL mata pelajaran., sehingga siswa kita akan bermutu seperti yang diharapkan. Dalam poin ini pengembangan diri atau kecakapan hidup (Life Skill) siswa juga sangat penting dimediasi. Kesimpulan alinia ini, Perencanaan Pembangunan Pendidikan dibidang Kompetensi lulusan penting dilakukan.
Pembangunan pendidikan dibidang tenaga pendidik dan kependididkan. Sekolah sebagai sebuah tempat berprosesnya pendidikan formal memerlukan Guru (Pendidik) dan Pegawai Kantor, Supervisor, Pegawai Labor, Pegawai Pustaka dan Teknisi Komputer serta penjaga sekolah (Tenaga Kependidikan). Persoalan disetiap daerah seluruh tanah air adalah kekurangan guru didaerah pinggiran dan berlebih didaerah perkotaan, begitu juga dengan tenaga kependidikan. Proses rekrutment guru yang belum mengarah kepada pencapaian guru yang bermutu, proses penempatan guru baru yang belum mengarah kepada pemerataan atau berdasarkan kebutuhan sekolah, kualifikasi guru yang belum memenuhi standar. Dalam laporan Dirjen PMPTK Depdiknas pada beberapa pertemuan mengatakan secara nasional guru sudah cukup bahkan berlebih tetapi belum memenuhi standar dibidang kualifkasinya. Jika kita pedomani data dan fakta diatas, maka perlu ada kebijakan pemerintah daerah dibidang pemerataan penempatan guru. Harus ada cara cara khusus untuk menarik guru untuk bertugas di desa, mungkin melalui insentif khusus dan lain-lain. Formula untuk ini dimasing-masing pemerintahan daerah harus dikaji dan dilakukan aktion, sehingga sekolah memiliki keadaan guru yang standar seperti yang dikehendaki UUSPN. Jika political will kearah ini tidak segera dibuat berarti pendidikan yang berkualitas seperti judul diatas sulit dicapai. Inilah sebenarnya yang menjadi Kendala sekolah dalam menghadapi ujian Nasional. Sekolah mau diukur dengan alat yang sama sementara ketersedian guru yang di manage dinas pendidikan di setiap sekolah masih centang prenang terkhusus daerah pinggiran. Perbaikan tentang sistim rekrutment guru baru, penempatan guru baru, pemerataan guru, reward dan funishment guru, insentif dan penggajian merupakan sebuah pembangunan non pisik pendidikan yang tidak boleh diabaikan, sangat penting!
Pembangunan pendidikan dibidang Sarana dan Prsarana. Jika kita ingin menciptakan pendidikan yang berkualitas, pelaksanaan pada bagian ini sangat penting. Tetapi tenaga birokrasi perencana pendidikan kita terlalu terkuras oleh bagian ini. Tidak terprogram secara baik, sehingga rehabilitasi gedung atau Tambah Ruang Kelas kadang-kadang kurang efektif, tidak memerlukan malah dibangaun, yang memerlukan pembangunan malah tidak kebagian. Maka sesekali kita mendengar ada sekolah roboh. Ada pula sekolah baru justru mendapat proyek Rehab. Kelemahan pengadaan sarana yang lain ,khusus alat belajar, masih terdapat pengadaan sarana pembelajatran yang kadaluarsa. Untuk apa juga kita menghabiskan uang membeli Over Head Proyector (OHP), ini sarana yang sudah sangat tertinggal, bagusnya kita adakan laptop dan infocus disetiap sekolah sehingga anak-anak kita tidak tertinggal bidang technologi pendidikan. Banyak juga alat-alat pendidikan yang setelah dibeli oleh CV pengadaan alat-alat sekolah yang tidak terpakai, kerena pengadaan ini bukan berdasarkan kebutuhan sekolah, kurang pengkajian teknisi pendidikan, hanya saja dirancang oleh orang-orang yang gemar membuat proyek pendidikan. Sebuah catatan yang harus dititipkan disini adalah pembangunann pendidikan dibidang sarana dan prasarana harus berdasarkan azas kebutuhan nyata dilapangan dan skala prioritas. Arah pembangunan sekolah baru khususnya menengah atas harus menuju sekolah kejuruan untuk mengejar program Nasional 40% (SMK). Tetapi secara serentak juga terprogram pengadaan guru SMK, kelemahan kita selalu hanya sekedar mengejar target arahan pemerintah pusat tetapi terabaikan mutu SMK tersebut.
Pembangunan Pendidikan di bidang pengelolaan (managemen). Untuk menuju pendidikan yeng bernutu perlu managemen yang baik. Ciri-ciri managemen yang baik adalah; transfaransi, akuntabel, efisien dan efektif. Dalam hal ini Peengelolaan data pendidikan harus akurat dan cepat saji (Data Base) dan sistim on line. Kedepan kita berharap rangkaian sekolah dengan kantor koordinator (Dinas pendidikan) harus on line dalam laporan. Pengelolaan selalu terkait dengan sumber daya baik tenaga maupun alat. Maka job discription dan pemberdayaan alat-alat harus terprogram dengan baik. Jika kita terus kembangkan tentang managemen sekolah. Maka peran Dinas pendidikan sangat penting dalam membangun sistim managemen maju pada setiap sekolah. Ini artinya diperlukan para ahli pengelolaan pendidikan.
Pembangunan pendidikan dibidang pendanaan atau biaya pendidikan. Pembiayaan pendidikan adalah merupakan suatu yang nyata (feasibility) terhadap suatu rancangan pendidikan. Banyak teori tentang pembiayaan pendidikan ini, ada namanya recurring cost dan yang lain capital cost. Kajian tentang pembiayanan pendidikan melahirkan beberapa model pembiayaan seperti; Asean Model, Unesco Simulation Model, dan Correa Model. Ketiga model tersebut mewmiliki konsep yang hampir sama. Jelasnya Recurring Cost penghitungan biaya pendidikan per unit cost berdasarkan per siswa (per student enrolled) sehingga jumlah dana keseluruhan tergantung dari jumlah siswa, sedangkan Capital Cost penghitungan unit cost pembelanjaan berdasarkan tempat siswa belajar (per student place). Di indonesia atau didaerah kita kecendrungan penghitung biaya pendidikan suatu sekolah adalah kombinasi dari recurring cost dan capital cost. Persoalan yang mungkin muncul dewasa ini adalah kesalahan data murid dan luas tanah atau bangunan. Maka kedepan seluruh sekolah memiliki data yang akurat pada dinas pendidikan sehubungan dengan penghitungan biaya pendidkan persekolah. Setiap sekolah harus menjabarkan masing-masing uraian mata anggaran unit cost nya berdasarkan standar harga barang yang sudah ditetapkan pemerintah masing-masing daerah. Pembiayaan pendidikan ini harus dilakukan secara profesional dan tepat guna sehingga memiliki korelasi yang positip untuk menuju pendidikan yang berkualitas.
Pembangunan pendidikan dibidang penilaian. Hal ini juga sangat penting diatur oleh pemerintah atau masing masing sekolah supaya ada keseragaman cara menetapkan standar penilaian, lazim disebut Standar ketuntasan minimal (SKM). Secara teoritis penetapan SKM ini oleh masing-masing sekolah pada masing-masing mata pelajaran melalui suatu proses rumus tertentu. Kendalanya secara menyeluruh adalah setiap sekolah memiliki SKM yang berbeda, sedangkan murid atau siswa ada yang mutasi sekolah oleh berbagai alasan pindah. Masih terdapat banyak guru belum bisa menetapkan SKM matapelajarannya, perlu sosialisasi teknis oleh Dinas Pendidikan. Untuk mencapai Pendidikan yang bermutu penetapan penilaian ini harus terus dikaji dan dikembangkan sehingga terdapat penyesuaian standar penilaian secara nasional. Kelemahan penilaian pada pendidikan kita baru mengukur ranah kognitif (Lihat Ujian Nasional) sedangkan formulasi afektif dan psikomotorik belum begitu tercover atau menjadi ukuran keberhasilan. Mudah-mudahan ke depan ada formulasi yang dapat mengukur ketiga ranah tersebut.