Berlatih Sabar

Banyak sekali ayat-ayat dalam Al Quran yang menyerukan agar kita bersabar, sebagaimana disebutkan tadi dalam Surat AlI Imran, ayat 200, yang artinya : Hai orang-orang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu memperoleh kesuksesan.

Pada bulan Ramadhan ini, yang sering disebut oleh para penceramah terdahulu adalah bulan kesabaran, dimana pada bulan ini kita belajar dan berlatih untuk bisa bersabar. Latihan bersabar, itulah kata yang mudah untuk diucapkan tapi seringkali tidak mudah untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Lebih tidak mudah lagi bagaimana dengan sabar itu kita dapat memperoleh kesuksesan, sebagaimana disebutkan dalam ayat tadi.

Diberbagai kantor/instansi saat ini juga sudah dilakukan pelatihan agar bisa memanfaatkan kesabaran dalam menghadapi rintangan menjadi upaya atau peluang untuk memperoleh kesuksesan, yang mana saat ini disebut dengan nama Pelatihan Kecerdasan Adversitas. Dimana yang namanya kecerdasan adversitas (adversity Inteligent) atau kecerdasan daya tahan mental adalah salah satu kecerdasan yang penting bagi siapapun yang sedang menjalani kehidupan ini. Sehingga dengan modal kecerdasan ini, kita sadar, posisi daya tahan mental kita berada dimana, seberapa besar kemampuan pantang menyerah kita, seberapa tinggi daya tahan mental kita menghadapi segala tantangan kehidupan.

Tingkat kesabaran atau daya tahan mental dikelompokkan menjadi 3, yaitu tipe Pendaki (Climber), Bertahan (Camper) dan Penghindar (Quitter).

1. Climber = orang yang punya cita-cita tinggi, pantang menyerah, terus mencoba walau pernah mengalami kegagalan, dan selalu memperbaiki diri dari waktu ke waktu.

2. Camper = orang yang cukup puas dengan yang dimiliki, bekerja sebatas yang ia mampu, walau memiliki potensi bekerja yang lebih baik.

3. Quitter = orang yang mudah mengalah dengan keadaan, selalu menghindar dari masalah, mudah menyerah menghadapi hambatan hidup.

Nah, sekarang kita tinggal pilih, kita termasuk dalam posisi yang mana, dari tiga kategori kesabaran atau kecerdasan kehandalan mental diatas, yang tentunya harapannya, kita ada pada kelompok tipe Pendaki, yang pantang menyerah. Namun lebih utama lagi apabila dengan bersabar kita dapat menikmati berkah di balik sebuah ujian yang kita hadapi.

Dikisahkan ada 2 orang santri yang sedang belajar di sebuah pesantren, berbagai ilmu telah mereka peroleh dan tibalah saatnya akan diberikan ilmu terakhir yang hebat dari sang kyai. Untuk itu sang kyai memerintahkan kedua santrinya untuk menuju ke tempat kyainya berada yaitu diatas bukit yang tinggi, yang harus melalui jalan setapak menuju tempat itu.

Sang kyai berkata, hai anak-anakku, tibalah saatnya kalian memperoleh ilmu terakhir dari saya agar kamu dapat memanfaatkannya dalam hidupmu, tapi syaratnya kalian harus berjalan menuju ketempatku diatas bukit disana. Maka berangkatlah kedua santri tadi menuju tempat sang kyai berada. Murid pertama, melihat dengan gamang tempat yang akan dia kunjungi, karena jauh diatas bukit. Terbayangkan olehnya bahwa tentu perjalannya melelahkan untuk mencapai tempat itu. Santri yang kedua juga melihat tempat yang akan ditujunya, tapi dengan gembira dia bayangkan, tentu indah sekali diperjalanan, karena dapat melihat pemandangan dari ketinggian.

Dengan susah payah, kedua santri tadi berjalan menuju ketempat sang kyai berada, dan akhirnya dengan keringat mengucur ditubuh, kedua santri tadi berhasil mencapai tempat sang guru. Disana telah menunggu sang kyai, dengan senyum sejuknya, dan menyediakan air penawar haus bagi kedua santri tadi. Setelah hilang hausnya, sang kyai bertanya pada kedua santrinya, Anak-anakku berdua, sungguh kalian sangat hebat telah berhasil menaiki bukit ini dengan susah payah, kini saya ingin mendengar apa yang kalian alami selama perjalanan kalian.

Santri pertama menjawab, Bapak Kyai, sungguh berat perjalanan tadi, sangat melelahkan karena harus melewati bebatuan dan semak belukar serta harus tinggi mendaki.

Santri kedua menjawab, Bapak Kyai, terima kasih telah memberikan kesempatan pada saya untuk dapat menikmati pemandangan dari tempat yang tinggi ini, untung saja sepanjang jalan kutemukan batu untuk berpijak, dan semak tempat aku berpegang, sehingga dapat mencapai tempat ini.

Dengan tersenyum arif, sang kyai tadi memberikan penjelasan, Anak-anakku sesungguhnya perjalanan kalian kemari adalah sebuah ujian, dan berat ringannya sebuah perjalanan sering tergantung darimana kita memandangnya, kalau kita dapat bersabar, tentulah kita akan mencapai tujuan kita dengan rasa bahagia.

Akhirnya santri pertama tadi sadar, bahwa dirinya masih ada kekurangan dalam menempuh pelajaran dari sang kyai, yaitu dia belum bisa bersabar dalam menempuh ujian dan mengubah ujian yang berupa perjalanan tadi menjadi peluang untuk memperoleh kebahagiaan.

Kata sang kyai : Santriku yang pertama, kamu sudah bagus dapat mencapai tempat ini, namun tingkatkan lagi agar dalam ujian selanjutnya kamu dapat lebih bersabar lagi. Dan santriku yang kedua, pertahankan sikap sabarmu karena mempertahankan sikap sabar juga merupakan upaya yang tidak mudah. Dan akhirnya sang kyai memberikan ilmu terakhirnya kepada kedua santrinya sebagai bekal menempuh hidup mereka.

Perjalanan yang saya kisahkan tadi, ibarat mencerminkan bulan Ramadhan ini, kalau pada awalnya kita sudah berpandangan bahwa bulan puasa adalah bulan rintangan karena tidak bebas bepergian, tidak bisa makan minum di siang hari karena puasa, maka kita akan memandang berat pula bulan ini.

Tetapi apabila kita memandang bulan puasa adalah bulan peluang untuk memperoleh banyak pahala, maka insyaallah kita memperoleh kesenangan dalam menjalankan puasa.

Untuk itu saya mengajak kepada bapak ibu dan adik2 agar memanfaatkan puasa kita sebagai ajang melatih kecerdasan adversitas kita, ajang mengubah hambatan jadi peluang agar kita memperoleh kesuksesan karena kita mengamalkan ibadah yang nilainya beberapa kali lipat dari hari-hari biasa. Demikian bapak ibu dan adik-adik semuanya, semoga paparan saya ini bermanfaat dan kalau ada benarnya itu semata karena Allah dan bila ada salahnya itu adalah karena saya adalah manusia biasa. Sekian assalamualaikum wr.wb.

ILMU AMALIAH DAN AMAL ILMIAH

Ilmu merupakan pijakan dalam beramal, sebagai landasan berbuat dan mengarahkan perbuatan ke arah kebaikan. Dengan ilmu kita mengetahui segalanya. Seorang bijak pernah berkata, "Ilmu tanpa amal; cacat. Dan, amal tanpa ilmu; buta." Maaf kalau perkataan orang bijak ini salah redaksi. Atau, ada istilah bangsa Arab yang tak pernah luput dari ingatan kita, "Al-'ilmu bilaa 'amalin, kasy-syajari bilaa tsamar". Terjemahan bahasa Indonesianya lebih kurang seperti ini: "Ilmu yang tidak diamalkan bagai pohon tak berbuah. Hati-hati, ini bukan hadits, melainkan pepatah alias 'ibarah. Makanya, jika berdakwah, pakailah dalil sesuai sumbernya. Jangan pepatah dianggap hadits.

Singkatnya, ilmu harus aplikatif. Pengetahuan yang kita peroleh harus aplikatif. Benar ya, ilmu itu harus aplikatif. Ilmu harus amaliah. Sebaliknya, beribu-ribu amal yang kita lakukan tidak akan berbuah apa-apa melainkan kelelahan. Apa maksudnya? 'Amal yang dalam bahasa Indonesia berarti perbuatan, tidak hanya mengerahkan segenap jiwa raga dan otot, namun akal pun berperan.


Andaikata kita shalat fardlu tanpa wudlu, ya mungkin karena tidak tahu ilmunya, lantas kita shalat ber-rakaat-rakat hingga badan pegal-pegal. Apakah akan berbuah pahala? Tentunya tidak. Manusia pembelajar selalu melakukan segala pekerjaannya didasarkan pada ilmu yang ia peroleh. Amal merupakan konsekuensi dari ilmu. Untuk itu, setiap ilmu harus aplikatif, dan setiap amal harus ilmiah. Ilmu harus profesional, dan profesionalisme harus ilmiah!

Sufyan Ats-Tsauri berkata : "Ilmu itu dipelajari agar dengannya seseorang bisa bertakwa kepada Allah" (Al-Hilyah : 6/362).

Maka tujuan dari mempelajari ilmu adalah untuk beramal dengannya dan bersungguh-sunggguh dalam menerapkannya. Dan ini terdapat pada orang-orang yang berakal, yang dikehendaki Allah Ta'ala bagi mereka kebaikan hidup di dunia dan akhirat.

Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Abi Barzah Al Aslami, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallamKedua kaki seorang hamba tidak akan bergeser pada hari kiamat sampai ia ditanya tentang umurnya dalam hal apa ia habiskan, tentang ilmunya dalam hal apa ia kerjakan dengannya, tentang hartanya dari mana ia peroleh dan dalam hal apa ia belanjakan, dan tentang tubuhnya dalam hal apa ia gunakan". Dalam riwayat Thabrani dan Al-Bazzar dengan lafadz : "... dan tentang ilmunya apa yang diamalkannya dari ilmu tersebut". bersabda : "

Abu Darda radhiyallohu anhu berkata : "Engkau tidak akan menjadi alim sampai engkau berilmu, dan engkau dengan ilmu tadi tidak akan menjadi alim sampai engkau mengamalkannya".

Abu Darda radhiyallohu anhu juga berkata : "Sesungguhnya hal pertama yang akan ditanyakan Robbku di hari kiamat yang paling aku takuti adalah tatkala Dia berkata : ‘Engkau telah berilmu, maka apa yang telah kamu amalkan dari ilmumu itu?".

Abu Hurairoh radhiyallohu anhu berkata : "Perumpamaan ilmu yang tidak diamalkan bagaikan harta simpanan yang tidak dinfakkan di jalan Alloh Ta'ala".

Az-Zuhri berkata : "Orang-orang tidak akan menerima ucapan seorang alim yang tidak beramal, dan tidak pula orang beramal yang tidak berilmu".

Abu Qilabah berkata : "Jika Alloh menjadikanmu berilmu maka jadikanlah ilmu itu sebagai ibadah kepada Alloh, dan janganlah kamu hanya berorientasi untuk menyampaikannya kepada orang lain (tanpa mengamalkannya)".

Abdullah bin Al Mu'taz berkata : "Ilmu seorang munafiq pada lidahnya, sedang ilmu seorang mukmin pada amalannya".

Amal adalah pendorong untuk tetap menjaga dan memperkokoh ilmu dalam sanubari para penuntut ilmu, dan ketiadaan amal merupakan pendorong hilangnya ilmu dan mewariskan kelupaan. Asy Sya'bi berkata : "Kami dahulu meminta bantuan dalam mencari hadits dengan berpuasa, dan kami dahulu meminta bantuan untuk menghapal hadits dengan mengamalkannya".

As Sulamiy berkata : "Telah memberi kabar kepada kami dari orang-orang yang mengajari Al-Qur'an kepada kami, bahwa mereka (para shahabat Nabi) dahulu belajar Al-Qur'an dari Nabi shollallohu alaihi wa sallam dimana mereka apabila mempelajari sepuluh ayat mereka tidak akan beranjak ke ayat berikutnya sampai mereka mengamalkan kandungannya".

Sesungguhnya orang yang bodoh kelak di hari kiamat akan ditanya kenapa ia tidak belajar (mencari ilmu), sedangkan orang yang berilmu akan ditanya apa yang telah diamalkan dengan ilmunya. Jika ia meninggalkan amal, maka ilmunya akan berbalik menjadi hujjah bagi dirinya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda : "Pada hari kiamat nanti, seseorang akan digiring kemudian dilemparkan ke dalam api neraka sampai isi perutnya terburai keluar. Kemudian penghuni neraka bertanya kepadanya : ‘Bukankah kamu dahulu menyerukan kebajikan dan melarang kemungkaran?' Ia menjawab : ‘Saya dahulu menganjurkan kebaikan tapi saya sendiri tidak melakukannya, dan saya melarang kemungkaran tapi saya sendiri mengerjakannya'."(HR. Bukhari dan Muslim).

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda : "Perumpamaan seorang alim yang mengajarkan kebaikan kepada manusia dan melupakan dirinya, seperti lilin yang menerangi manusia tetapi membakar dirinya sendiri". (HR. Thabrani).

Yahya bin Muadz Ar Razi berkata : "Orang miskin pada hari kiamat adalah orang yang ilmunya berbalik menjadi hujjah baginya, ucapannya berbalik menjadi musuhnya, dan pemahamannya yang mematahkan udzurnya".

Ibnul Jauzi berkata : "Orang yang benar-benar sangat patut dikasihani adalah orang yang menyia-nyiakan umurnya dalam suatu ilmu yang tidak ia amalkan, sehingga ia kehilangan kesenangan dunia dan kebaikan akhirat, kemudian dia ketika hari kiamat dalam datang dalam keadaan bangkrut dengan kuatnya hujjah atas dirinya". (Shoidul Khatir hal. 144).

PRIORITAS ILMU ATAS AMAL


"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya....." (Q.S. Al-Israa'; 17:36)

Bismillahirrahmanirrahim

Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakatuh

Diantara pemberian prioritas yang dibenarkan oleh agama adalah prioritas ilmu atas amal. Ilmu didahulukan atas amal karena ilmu merupakan petunjuk dan pemberi arah amal yang akan dilakukan. Ilmu mendahului perkataan dan perbuatan, kedua hal itu tidak dianggap shahih kecuali dengan ilmu; sehingga ilmu itu didahulukan atas keduanga. Ilmulah yang membenarkan niat dan perbuatan.

Ilmu yang pertama kali mesti dikuasai adalah ilmu tauhid, sebagaimana firman Allah :
"Maka Ketahuilah, bahwa Sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, Tuhan) selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu ........" (Q.S. Muhammad; 47:19)

Oleh karena itu Rasulullah saw pertama-tama memerintahkan umatnya untuk menguasai ilmu tahuid baru kemudian memohonkan ampunan yang merupakan amal perbuatan. Jadi, umat muslim mesti memiliki ilmu pengetahuan tentang tauhid sebelum memohon ampun. Memiliki pengetahuan tentang kebesaran Allah sebelum beribadah kepada-Nya. Sesungguhnya ilmu pengetahuanlah yang menyebabkan rasa takut kepada Allah dan kemudian mendorong manusia kepada amal perbuatan. Apabila seorang muslim sudah mengenal dan paham tentang agamanya, maka dia akan beramal dan tidak hanya sekedar beramal.... tetapi amalan yang dilakukan dengan baik..!!

 

Dalil lainnya adalah dalil tentang perintah berjihad

Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan atau pun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui." (Q.S. At-Taubah; 9:41)

Berjihad , baik itu dengan harta maupun jiwa, adalah hal yang baik jika mengetahuinya. Jika kita memiliki ilmunya.

Dalil yang menunjukkan kebenaran tindakan kita mendahulukan ilmu atas amal ialah bahwa ayat yang diturunkan pertama kali adalah : "Bacalah", baru kemudian diturunkan ayat yang berhubungan dengan kerja yaitu surat al-Muddatstsir

  1. Hai orang yang berkemul (berselimut),
  2. Bangunlah, lalu berilah peringatan!
  3. Dan Tuhanmu agungkanlah!
  4. Dan pakaianmu bersihkanlah,
  5. Dan perbuatan dosa tinggalkanlah, (Q.S. Al-Muddatstsir; 74:1-5)

Kita pun mengetahui kunci ilmu pengetahuan adalah membaca, dan dari sejarah diturunkannya surat Al-Alaq baru kemudian Al-Muddatstsir tersebut maka sesungguhnya ilmu pengetahuan mesti didahulukan atas amal perbuatan. Ilmu pengetahuan mampu membedakan mana yang benar dan salah, mana yang baik dan buruk, mana yang halal dan haram, mana yang wajib dan sunah, mana akhlak terpuji dan yang bukan. Oleh karena itu, tanpa ilmu pengetahuan maka kita akan kehilangan arah dan melakukan tindakan yang tidak karuan. 
Benarlah apa yang pernah diucapkan oleh Umar bin Abdul Aziz: "Barangsiapa melakukan suatu pekerjaan tanpa ilmu pengetahuan tentang itu, maka apa yang dia rusak lebih banyak daripada apa yang dia perbaiki."

Hal sehari-hari yang mungkin ada adalah berpuasa siang hingga malam, atau sholat Subuh agar terlihat lebih baik maka dilakukan 4 rakaat ??

Keadaan seperti ini tampak jelas pada sebagian kaum muslimin yang tidak kurang semangat beragamanya, keikhlasannya dan juga ketakwaannya, tetapi mereka tidak membekali diri dengan ilmu pengetahuan, dan pemahaman yang benar.

Seperti itulah keadaan kaum Khawarij yang memerangi Ali bin Abu Thalib r.a. Kaum Khawarij menghalalkan darahnya dan darah kaum Muslimin yang mendekatkan diri kepada Allah SWT. Mereka, kaum Khawarij, merupakan kelanjutan dari orang-orang yang pernah menentang pembagian harta rampasan perang yang dilakukan Rasulullah saw. Mereka menentang karena pembagian harta lebih banyak kepada orang-orang yang baru masuk Islam daripada yang telah lama masuk Islam. Mereka berkata dengan kasar : "Berbuat adillah engkau ini!" Maka Rasul bersabda, "Celaka engkau! Siapa lagi yang adil apabila aku tidak bertindak adil.Kalau aku tidak adil, maka engkau akan sia-sia dan merugi."

Orang yang mengucapkan perkataan itu sama sekali tidak memahami siasat Rasulullah untuk melunakkan hati orang-orang yang baru masuk Islam dengan memberikan bagian harta yang lebih banyak. Allah SWT memberikan hak kepada Rasulullah untuk mengatur shodaqoh yang diberikan oleh kaum muslimin, begitu juga dengan harta rampasan perang.


Sesungguhnya kesalahan fatal yang dilakukan oleh mereka bukanlah terletak pada perasaan dan niat mereka, tetapi lebih berada pada akal pikiran dan pemahaman mereka.

Oleh karena itu niat yang benar dan semangat yang tinggi tidaklah cukup untuk memperbaiki, tetapi diperlukan juga ilmunya, agar apa-apa yang kita lakukan sesuai dengan tujuan awalnya yaitu memperbaik. Tidak lupa juga hal yang sebaliknya yaitu janganlah merasa cukup hanya dengan memiliki ilmu, tetapi juga dibutuhkan tindakan-tindakan dan amalan-amalan nyata setelah berilmu.

Amal tanpa ilmu, buta.... Ilmu tanpa amal, pincang...

Wallahu'alam bishshawab. Yang benar datangnya dari Allah sedangkan hal-hal yang salah datangnya dari saya pribadi. Mohon maaf atas segala kesalahan. Diakhir kesempatan ini marilah kita berdoa agar kita menjadi orang yang dapat berkontribusi terhadap perbaikan, menjadi orang yang berilmu dengan amalan-amalan nyata.


Kita memohon kepada Allah kita bersatu padu dalam beramal dan tidak tercerai berai.

 

Ilmu Adalah Pemimpin Amal

Alhamdulillah wa shalaatu wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi wa man tabi'ahum bi ihsaanin ilaa yaumid diin.

Mu'adz bin Jabal -radhiyallahu ‘anhu- mengatakan,

"Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu." (Al Amru bil Ma'ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15)

Bukti bahwa ilmu lebih didahulukan daripada amalan

Ulama hadits terkemuka, yakni Al Bukhari berkata, "Al ‘Ilmu Qoblal Qouli Wal ‘Amali (Ilmu Sebelum Berkata dan Berbuat)" Perkataan ini merupakan kesimpulan yang beliau ambil dari firman Allah ta'ala,

"Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu." (QS. Muhammad [47]: 19)

Dalam ayat ini, Allah memulai dengan ‘ilmuilah' lalu mengatakan ‘mohonlah ampun'. Ilmuilah yang dimaksudkan adalah perintah untuk berilmu terlebih dahulu, sedangkan ‘mohonlah ampun' adalah amalan. Ini pertanda bahwa ilmu hendaklah lebih dahulu sebelum amal perbuatan.

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berdalil dengan ayat ini untuk menunjukkan keutamaan ilmu. Hal ini sebagaimana dikeluarkan oleh Abu Nu'aim dalam Al Hilyah ketika menjelaskan biografi Sufyan dari jalur Ar Robi' bin Nafi' darinya, bahwa Sufyan membaca ayat ini, lalu mengatakan, "Tidakkah engkau mendengar bahwa Allah memulai ayat ini dengan mengatakan ‘ilmuilah', kemudian Allah memerintahkan untuk beramal?" (Fathul Bari, Ibnu Hajar, 1/108)

Al Muhallab rahimahullah mengatakan, "Amalan yang bermanfaat adalah amalan yang terlebih dahulu didahului dengan ilmu. Amalan yang di dalamnya tidak terdapat niat, ingin mengharap-harap ganjaran, dan merasa telah berbuat ikhlas, maka ini bukanlah amalan (karena tidak didahului dengan ilmu, pen). Sesungguhnya yang dilakukan hanyalah seperti amalannya orang gila yang pena diangkat dari dirinya." (Syarh Al Bukhari libni Baththol, 1/144)

Ibnul Munir rahimahullah berkata, "Yang dimaksudkan oleh Al Bukhari bahwa ilmu adalah syarat benarnya suatu perkataan dan perbuatan. Suatu perkataan dan perbuatan itu tidak teranggap kecuali dengan ilmu terlebih dahulu. Oleh sebab itulah, ilmu didahulukan dari ucapan dan perbuatan, karena ilmu itu pelurus niat. Niat nantinya yang akan memperbaiki amalan." (Fathul Bari, 1/108)

Keutamaan ilmu syar'i yang luar biasa

Setelah kita mengetahui hal di atas, hendaklah setiap orang lebih memusatkan perhatiannya untuk berilmu terlebih dahulu daripada beramal. Semoga dengan mengetahui faedah atau keutamaan ilmu syar'i berikut akan membuat kita lebih termotivasi dalam hal ini.

Pertama, Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu di akhirat dan di dunia

Di akhirat, Allah akan meninggikan derajat orang yang berilmu beberapa derajat berbanding lurus dengan amal dan dakwah yang mereka lakukan. Sedangkan di dunia, Allah meninggikan orang yang berilmu dari hamba-hamba yang lain sesuai dengan ilmu dan amalan yang dia lakukan.

Allah Ta'ala berfirman,

"Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat." (QS Al Mujadalah: 11)

Kedua, seorang yang berilmu adalah cahaya yang banyak dimanfaatkan manusia untuk urusan agama dan dunia meraka.

Dalilnya, satu hadits yang sangat terkenal bagi kita, kisah seorang laki-laki dari Bani Israil yang membunuh 99 nyawa. Kemudian dia ingin bertaubat dan dia bertanya siapakah di antara penduduk bumi yang paling berilmu, maka ditunjukkan kepadanya seorang ahli ibadah. Kemudian dia bertanya kepada si ahli ibadah, apakah ada taubat untuknya. Ahli ibadah menganggap bahwa dosanya sudah sangat besar sehingga dia mengatakan bahwa tidak ada pintu taubat bagi si pembunuh 99 nyawa. Maka dibunuhlah ahli ibadah sehigga genap 100 orang yang telah dibunuh oleh laki-laki dari Bani Israil tersebut.

Akhirnya dia masih ingin bertaubat lagi, kemudian dia bertanya siapakah orang yang paling berilmu, lalu ditunjukkan kepada seorang ulama. Dia bertanya kepada ulama tersebut, "Apakah masih ada pintu taubat untukku." Maka ulama tersebut mengatakan bahwa masih ada pintu taubat untuknya dan tidak ada satupun yang menghalangi dirinya untuk bertaubat. Kemudian ulama tersebut menunjukkan kepadanya agar berpindah ke sebuah negeri yang penduduknya merupakan orang shalih, karena kampungnya merupakan kampung yang dia tinggal sekarang adalah kampung yang penuh kerusakan. Oleh karena itu, dia pun keluar meninggalkan kampung halamannya. Di tengah jalan sebelum sampai ke negeri yang dituju, dia sudah dijemput kematian. (HR. Bukhari dan Muslim). Kisah ini merupakan kisah yang sangat masyhur. Lihatlah perbedaan ahli ibadah dan ahli ilmu.

Ketiga, ilmu adalah warisan para Nabi

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

"Sesungguhnya para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, maka dia telah memperoleh keberuntungan yang banyak." (HR. Abu Dawud no. 3641 dan Tirmidzi no. 2682. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho'if Sunan Abi Daud dan Shohih wa Dho'if Sunan Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Keempat, orang yang berilmu yang akan mendapatkan seluruh kebaikan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

"Barangsiapa yang Allah kehendaki mendapatkan seluruh kebaikan, maka Allah akan memahamkan dia tentang agama." (HR. Bukhari dan Muslim)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, "Setiap orang yang Allah menghendaki kebaikan padanya pasti akan diberi kepahaman dalam masalah agama. Sedangkan orang yang tidak diberikan kepahaman dalam agama, tentu Allah tidak menginginkan kebaikan dan bagusnya agama pada dirinya." (Majmu' Al Fatawa, 28/80)

Ilmu yang wajib dipelajari lebih dahulu

Ilmu yang wajib dipelajari bagi manusia adalah ilmu yang menuntut untuk diamalkan saat itu, adapun ketika amalan tersebut belum tertuntut untuk diamalkan maka belum wajib untuk dipelajari. Jadi ilmu mengenai tauhid, mengenai 2 kalimat syahadat, mengenai keimanan adalah ilmu yang wajib dipelajari ketika seseorang menjadi muslim, karena ilmu ini adalah dasar yang harus diketahui.

Kemudian ilmu mengenai shalat, hal-hal yang berkaitan dengan shalat, seperti bersuci dan lainnya, merupakan ilmu berikutnya yang harus dipelajari. Kemudian ilmu tentang hal-hal yang halal dan haram, ilmu tentang mualamalah dan seterusnya.

Contohnya seseorang yang saat ini belum mampu berhaji, maka ilmu tentang haji belum wajib untuk ia pelajari saat ini. Akan tetapi ketika ia telah mampu berhaji, ia wajib mengetahui ilmu tentang haji dan segala sesuatu yang berkaitan dengan haji. Adapun ilmu tentang tauhid, tentang keimanan, adalah hal pertama yang harus dipelajari karena setiap amalan yang ia lakukan tentunya berkaitan dengan niat. Kalau niatnya dalam melakukan ibadah karena Allah maka itulah amalan yang benar. Adapun kalau niatnya karena selain Allah maka itu adalah amalan syirik. Ini semua jika dilatarbelakangi dengan aqidah dan tauhid yang benar.

Penutup

Marilah kita awali setiap keyakinan dan amalan dengan ilmu agar luruslah niat kita dan tidak terjerumus dalam ibadah yang tidak ada tuntunan (alias bid'ah). Ingatlah bahwa suatu amalan yang dibangun tanpa dasar ilmu malah akan mendatangkan kerusakan dan bukan kebaikan.

‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mengatakan,

"Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan membuat banyak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan." (Al Amru bil Ma'ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, hal. 15)

Di samping itu pula, setiap ilmu hendaklah diamalkan agar tidak serupa dengan orang Yahudi. Sufyan bin ‘Uyainah -rahimahullah- mengatakan,

"Orang berilmu yang rusak (karena tidak mengamalkan apa yang dia ilmui) memiliki keserupaan dengan orang Yahudi. Sedangkan ahli ibadah yang rusak (karena beribadah tanpa dasar ilmu) memiliki keserupaan dengan orang Nashrani." (Majmu' Al Fatawa, 16/567)

Semoga Allah senantiasa memberi kita bertaufik agar setiap amalan kita menjadi benar karena telah diawali dengan ilmu terdahulu. Semoga Allah memberikan kita ilmu yang bermanfaat, amal yang sholeh yang diterima, dan rizki yang thoyib.

Alhamdulilllahilladzi bi ni'matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.