Standar Kompetensi Pustakawan

Kompetensi pustakawan, akhir-akhir ini mendapat perhatian serius dan berbagai kalangan, khususnya dari para praktisi perpustakaan. Masalah ini menjadi semakin mendesak karena tuntutan kebutuhan pengguna dan perkembangan teknologi informasi yang cepat dan dinamis. Pada kenyataannya, kompetensi pun selalu berkembang seiring dengan perkembangan teknologi. Special Libraries Association (SLA) pada tahun 1996 merumuskan dua jenis kompetensi di abad 21 yang harus dimiliki para pendidik, mahasiswa, praktisi dan pegawai, yaitu kompetensi professional dan kompetensi individu. Namun pada Juni 2003 (SLA, 2003 : 2) rumusan ini direvisi dan ditambah satu kompetensi inti atau core competence, yang merupakan pengait kompetensi profesional dan kompetensi individu.

 

Untuk mengetahui seorang pustakawan mempunyai kompetensi atau tidak, seberapa tingkat kompetensinya diperlukan adanya acuan. Acuan itulah yang disebut standar. Adanya standar kompetensi pustakawan sangat diperlukan. Paling tidak ada tiga pihak yang mempunyai kepentingan terhadap standar kompetensi pustakawan: Pertama adalah perpustakaan. Bagi perpustakaan, standar kompetensi pustakawan dapat dipergunakan sebagai pedoman untuk merekrut pustakawan dan mengembangkan program pelatihan agar tenaga perpustakaan mempunyai kompetensi atau meningkatkan kompetensinya.

 

Kedua adalah lembaga penyelengara sertifikasi pustakawan. Bagi lembaga sertifikasi pustakawan, standar kompetensi pustakawan dapat dipergunakan sebagai acuan dalam melakukan penilaian kinerja pustakawan dan uji sertifikasi terhadap pustakawan. Sedangkan pihak ketiga adalah pustakawan. Bagi pustakawan standar kompetensi pustakawan dapat dipergunakan sebagai acuan untuk mengukur kemampuan diri untuk memegang jabatan pustakawan yang menjadi salah satu persyaratan untuk memimpin suatu instansi atau lembaga perpustakaan.

 

Dalam Rancangan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia yang sedang dalam uji publik di beberapa daerah tertuang bahwa :

 

Kompetensi dan Sertifikasi

1) Pustakawan harus memiliki kompetensi profesional dan kompetensi personal

2) Kompetensi profesional mencakup aspek pengetahuan, keahlian, dan sikap kerja.

3) Kompetensi personal mencakup aspek kepribadian dan interaksi sosial.

4) Pustakawan yang dinyatakan memiliki kompetensi, diberikan sertifikat kompetensi.

5) Pustakawan yang memiliki sertifikat kompetensi memperoleh tunjangan profesi.

6) Kompetensi Pustakawan secara lebih lanjut, diatur didalam Standar Kompetensi Pustakawan yang ditetapkan oleh Perpustakaan Nasional RI.

 

Standar Kompetensi dan Sertifikasi diatas tentu perlu penyempurnaan dan masukan dari berbagai komponen khususnya pustakawan akan tetapi tidaklah salah sambil menunggu terbitnya standar kompetensi pustakawan, maka dipandang perlu mengetahui kompetensi apa yang seharusnya dipenuhi oleh seorang pustakawan. Ikatan Perpustakaan Khusus (The Special Library Association) pada tahun 2003 telah merumuskan kompetensi pustakawan. Walaupun rumusan tersebut sebetulnya di peruntukan bagi pustakawan yang bekerja di perpustakaan khusus, namun dapat dipergunakan sebagai acuan sementara dan tentunya memerlukan sedikit penyesuaian. Seperti sudah disebutkan di atas bahwa The Special Library Association membedakan kompetensi menjadi 2 jenis yaitu kompetensi profesional dan kompetensi personal/individu.

 

Berikut adalah kompetensi profesional yang seharusnya dimiliki oleh pustakawan :

 

1. Memiliki pengetahuan keahlian tentang isi sumber-sumber informasi, termasuk kemampuan untuk mengevaluasi dan menyaring sumber-sumber tersebut secara kritis.

2. Memiliki pengetahuan tentang subjek khusus yang sesuai dengan kegiatan organisasi pelanggannya.

3. Mengembangkan dan mengelola layanan informasi dengan baik, accessable (dapat diakses dengan mudah) dan cost-effective (efektif dalam pembiayaan) yang sejalan dengan aturan strategis organisasi.

4. Menyediakan bimbingan dan bantuan terhadap pengguna layanan informasi dan perpustakaan.

5. Memperkirakan jenis dan kebutuhan informasi, nilai jual layanan informasi dan produk-produk yang sesuai kebutuhan yang diketahui.

6. Mengetahui dan mampu menggunakan teknologi informasi untuk pengadaan, pengorganisasian, dan penyebaran informasi.

7. Mengetahui dan mampu menggunakan pendekatan bisnis dan manajemen untuk mengkomunikasikan perlunya layanan informasi kepada manajemen senior.

8. Mengembangkan produk-produk informasi khusus untuk digunakan di dalam atau di luar lembaga atau oleh pelanggan secara individu.

9. Mengevaluasi hasil penggunaan informasi dan menyelenggarakan penelitian yang berhubungan dengan pemecahan masalah-masalah manajemen informasi.

10. Secara berkelanjutan memperbaiki layanan informasi untuk merespon perubahan kebutuhan.

11. Menjadi anggota tim manajemen senior secara efektif dan menjadi konsultan organisasi di bidang informasi (Harmawan, Kompetensi Pustakawan: antara harapan dan kerisauan)

 

Lain halnya Standar Kompetensi Pustakawan yang dikeluarkan oleh Ikatan Ilmuwan Informasi dan Asosiasi Pustakawan di Inggris yang disepakati oleh pustakwan internasional beberapa diantaranya adalah :

 

a. Pustakawan harus mampu menjangkau beragam komunitas perpustakaan dan informasi dan praktisi dalam segala bidang pada semua jenjang karir.

b. Pustakawan mendapat penghargaan atas kemampuannya pada tingkat professional

c. Pustakawan memiliki kode etik yang dapat memberikan jaminan layanan profesional pada publik pengguna

d. Pustakawan mendapat penghargaan dari lembaga pendidikan dan dilibatkan sebagai bagian dari pengembangan lembaga

e. Pustakawan menunjukan kemampuannya pada mahasiswa, praktisi, pimpinan, pemerintah dan masyarakat

f. Pustakawan mempromosikan dan mendukung gagasan pembangunan prfesional berkelanjutan untuk semua anggota asosiasi dengan membuat kerangka kerja dan program kesempatan berkarir (Agus Rusmana, Strategi Menuju Pustakawan Profesional)

 

Butiran-butiran di atas tidak semuanya harus dimiliki oleh seorang pustakawan Kemampuan, yang harus dimiliki seorang pustakawan mesti disesuaikan dengan tingkatan atau levelnya.

Sedangkan kompetensi personal/individu bagi pustakawan meliputi :

1. Memiliki komitmen untuk memberikan layanan terbaik.

2. Mampu mencari peluang dan melihat kesempatan baru baik di dalam maupun di luar perpustakaan.

3. Berpandangan luas.

4. Mampu mencari partner kerja.

5. Mampu menciptakan lingkungan kerja yang di hargai dan dipercaya.

6. Memiliki ketrampilan bagaimana berkomunikasi yang efektif.

7. Dapat bekerjasama secara baik dalam suatu tim kerja.

8. Memiliki sifat kepemimpinan.

9. Mampu merencanakan, memprioritaskan dan memusatkan pada suatu yang kritis.

10. Memiliki komitmen untuk selalu belajar dan merencanakan pengembangan kariernya.

11. Mampu mengenali nilai dari kerjasama secara profesional dan solidaritas.

12. Memiliki sifat positif dan fleksibel dalam menghadapi perubahan.

 

Untuk kompetensi personal/individu, semua butir-butir kompetensi tersebut di atas seharusnya wajib dimiliki oleh pustakawan.

 

 

III. SERTIFIKASI PUSTAKAWAN

Sertifikat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai surat tanda atau surat keterangan (pernyataan tertulis) atau terletak dari orang yang berwenang yang dapat digunakan sebagai bukti suatu kejadian. Sertifikat pustakawan adalah surat bukti kompetensi pustakawan yang dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang. Proses kebijakan dan pelaksanaan untuk mengeluarkan sertifikat dapat disebut sertifikasi. Seperti sudah diuraikan di atas bahwa rumusan standar kompetensi pustakawan masih dalam proses, ini merupakan langkah awal dalam sertifikasi pustakawan. Penyusunan standar kompetensi yang masih dalam proses tersebut melibatkan beberapa pihak meliputi organisasi profesi, Badan Kepegawaian Nasional, Menpan, BNSP, Depnaker, Para pakar pustakawan dan lembaga pendidikan perpustakaan (Kismiyati, 2008). Penulis berharap standar kompetensi pustakawan segera dirumuskan. Langkah selanjutnya adalah menentukan lembaga mana yang akan diberi wewenang untuk mengeluarkan sertifikat pustakawan. Sampai saat ini juga belum ada kepastian tentang lembaga mana yang akan diberi wewenang rnengeluarkan sertifikat pustakawan. Yang jelas lembaga tersebut harus independen dan mempunyai kredibilitas, integritas dan tanggung jawab yang tinggi.

Persoalan kemudian adalah bagaimana agar sertifikasi bisa meningkatkan kualitas kompetensi pustakawan? Filosofi dasarnya adalah bahwa sertifikasi pustakawan merupakan sarana atau instrumen untuk meningkatkan kualitas kompetensi pustakawan. Sertifikasi bukan merupakan tujuan, melainkan sarana untuk mencapai suatu tujuan, yakni keberadaan pustakawan yang berkualitas. Oleh karena itu, perlu dibangun kesadaran dan pemahaman bersama bahwa sertifikasi adalah sarana untuk menuju kualitas. Kalau seorang pustakawan menempuh S2 untuk meningkatkan kualifikasi akademiknya, maka tujuan kuliah adalah untuk mendapatkan tambahan ilmu pengetahuan dan ketrampilan, bukan mendapatkan ijazah. Ijazah adalah bukti bahwa pemegangnya memiliki kualifikasi S2 bidang tertentu. Dengan mempunyai kesadaran dan pemahaman seperti itu, maka untuk mendapatkan ijazah S2 tersebut tidak akan melakukan atau menghalalkan segala cara, melainkan konsekuensi dari belajar dan telah mendapatkan tambahan ilmu dan ketrampilan baru. Demikian pula kalau pustakawan mengikuti uji sertifikasi, tujuan utama bukan untuk mendapatkan tunjangan profesi, melainkan untuk dapat menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah memiliki kompetensi sebagaimana disyaratkan dalam standard kompetensi pustakawan. Tunjangan profesi pustakawan (kalau ada) adalah konsekuensi logis yang menyertai adanya kemampuan yang dimaksud. Dengan menyadari hal ini maka pustakawan tidak akan mencari jalan lain guna mendapatkan sertifikat pustakawan kecuali mempersiapkan diri untuk memenuhi persyaratan yang ada dalam standar kompetensi pustakawan.

 

KERISAUAN PERTAMA

Beberapa uraian sebelum bab ini, banyak menguraikan tentang hal-hal yang dapat menumbuhkan harapan baru bagi pustakawan untuk meningkatkan kompetensinya. Para pustakawan sangat berharap adanya standar kompetensi pustakawan dan memegang sertifikat pustakawan. Perlu penulis ingatkan sekali lagi bahwa tujuan utama sertifikasi pustakawan adalah untuk mencapai kualitas, bukan mendapatkan tunjangan profesi. Tunjangan profesi merupakan konsekuensi logis yang menyertai adanya kompetensi yang dimiliki. Yang merisaukan penulis adalah adakah “konsekuensi logis” bagi pustakawan? Mari kita cermati isi Undang - Undang tentang Perpustakaan.

Dalam pasal 31 disebutkan bahwa tenaga perpustakaan berhak atas :penghasilan di atas kebutultan hidup minimum dan jaminan kesejateraan sosial:

1. Pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas; dan

2. Kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas perpustakaan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.

 

Bandingkan Undang-Undang Guru dan Dosen.

Dalam pasal 14 disebutkan bahwa dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak:

 

1. Memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial;

2. Mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;

3. Memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan intelektual;

4. Memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi;

5. Memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan:

6. Memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru. dan peraturan perundang-undangan;

7. Memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas;

8. Memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi;

9. Memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan;

10. Memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan akademik dan kompetensi;

11. Memperoleh pelatihan dan pengembangan profesi dalam bidangnya.

 

Lebih lanjut dalam pasal 16 ayat 2 dinyatakan bahwa tunjangan profesi guru diberikan setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.

 

Yang saya risaukan adalah tunjangan profesi pustakawan yang merupakan konsekuensi logis dan yang menyertai kompetensi pustakawan ternyata tidak diatur dalam Undang­Undang Perpustakaan. Berbeda dengan Undang-Undang Guru dan Dosen, jelas menyebutkan bahwa pemegang sertifikasi guru akan mendapatkan tunjangan profesi sebesar 1 kali gaji pokok. Inilah yang menjadikan penulis risau. Mudah-mudahan kerisauan ini tidak menjadi kenyataan. Karena masih ada cara atau kemungkinan lain mengenai pemberian tunjangan profesi pustakawan baik berdasarkan Peraturan Pemerintah maupun Keputusan Presiden. Untuk merevisi Undang-Undang jelas memerlukan waktu yang lama.

KERISAUAN KEDUA

Sampai saat ini, jabatan fungsional pustakawan belum menarik. Hal ini terbukti dengan merosotnya jumlah pustakawan sejak pertama kali jabatan fungsional Jabatan pustakawan dikeluarkan. Pada awal tahun 90’ an jumlah pustakawan sekitar 4000 lebih, (mohon koreksi kalau salah), sekarang tinggal 2972 orang. Jelas ini merupakan kemerosotan. Banyak sebab kenapa jabatan pustakawan tidak menarik salah satunya (bukan satu?satunya) adalah soal kesejahteraan pustakawan. Namun demikian bagi penulis, jumlah bukan merupakan yang utama walaupun tetap penting. Yang utama adalah kualitas.

 

 

PENUTUP

Tantangan perpustakaan di masa mendatang akan semakin berat dan kompleks. Tuntutan pemustaka akan kebutuhan informasi terus meningkat. Perpustakaan harus meningkatkan sistem layanannya agar kebutuhan informasi penggunanya dapat dipenuhi dengan cepat, tepat. efektif dan efisien. Dalam rangka mendukung terwujudnya perpustakaan yang handal tersebut, maka diperlukan pustakawan yang memiliki kompetensi yang tinggi baik kompetensi profesional dan kompetensi personal/individu. Pengembangan pustakawan yang berkualitas dan berkompeten merupakan suatu hal yang perlu mendapatkan perhatian serius ketika ingin membangun suatu perpustakaan yang ideal.