Puasa pada hakikatnya adalah riyadah dan mujahadah (upaya latihan dan perjuangan dan terapi penahanan nafs diri atau jiwa) dari ketidakseimbangan pendayagunaan tiga potensi, yaitu akal, kemarahan, dan syahwat. Akal yang tidak didayagunakan secara baik akan melahirkan manusia yang sombong dan durhaka, kemarahan yang tidak digunakan dengan baik akan membawa manusia kesembronoan tindakan, dan syahwat yang tidak terkendali akan membawa manusia pada pemuasan nafsu kebinatangan. Keseimbangan potensi akal, marah, dan syahwat akan membawa manusia pada keutamaan jiwa atau empat kebajikan utama yang meliputi kebijaksanaan, keberanian, keterjagaan diri dan moderasi ketiga potensi itu akhirnya membawa pada keadilan sikap. Manusia yang memiliki keempat sifat ini dinyatakan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitab Mizan al-‘Amal sebagai orang yang berakhlak baik, dan pada gilirannya akan membawanya pada kebahagiaan.
Apakah kemudian keutamaan akhlak yang membawa kebahagiaan ini dengan mudahnya dapat dicapai oleh seorang muslim yang berpuasa? Jika ia berpuasa dengan baik, dalam pengertian manusia benar-benar menghayati terapi pembiasaan, pelatihan dan penahanan diri ini, niscaya jawabannya adalah “iya”, insya Allah.
Kebahagiaan merupakan tuntutan dan tujuan manusia dari sejak dahulu hingga akhir zaman. Kebahagiaan dengan demikian adalah capaian yang niscaya. Namun kenyataannya, sebagian manusia hanya mengejar kebahagiaan atau kenikmatan jasad yang meliputi kesehatan, kekuatan, keelokan, dan panjang umur, kebahagiaan eksternal yang meliputi harta, keluarga, kemuliaan dan kehormatan keturunan, namun melupakan kebahagiaan akhirat, dan kenikmatan taufik Allah. Disangkanya kesempurnaan, keterpenuhan hasrat perut, dan seksualitas adalah tujuan dan puncak kebahagiaan. Padahal, ketika manusia lupa pada tujuan penciptaannya, maka hakikatnya pada saat itu ia tidak berbeda dengan binatang ternak yang dikuasai dorongan-dorongan biologisnya.
Puncak kebahagiaan dunia adalah kemuliaan, kedudukan, kekuasaan, dan keterlepasan dari kesedihan dan kegundahan, dan senantiasa dalam kesenangan dan kegembiraan. Sementara itu kebahagiaan akhirat sebagai kebahagiaan puncak adalah keterlepasan dari kesedihan dan kegundahan, dan senantiasa dalam kesenangan dan kegembiraan untuk selama-lamanya. Namun untuk mencapai kesemuanya pun menurut Al-Ghazali harus pula dengan ilmu dan ‘aktifitas’ amal.
Dihubungkan dengan kebahagiaan puncak, maka empat kebajikan utama yang berasal dari moderasi diri atau kebahagiaan jiwa merupakan prasyarat utama menuju kebahagiaan puncak tersebut. Karena subjek utama kebahagiaan itu adalah jiwa. Sebagaimana ditegaskan Nabi Muhammad sebagai berikut. Dari Nu’man ibn Basyir berkata : saya mendengar Rasulullah bersabda yang artinya: “Ingatlah bahwa sesungguhnya di dalam jasad ada segumpal daging, ketika ia baik, baik pula seluruh jasad itu, dan ketika rusak, rusak pula seluruh jasad itu, ingatlah ia adalah hati (H.R. al-Bukhari).
Mencapai kebahagiaan mutlak menghajatkan penyempurnaan jiwa dan hal itu meniscayakan untuk mengetahui keutamaan-keutamaan jiwa. Dinyatakan oleh Mahmud Zaqzuq bahwa keutamaan itu adalah kesiapan terus menerus untuk mengerjakan kebaikan.
Menurut al-Ghazali, dalam Mizan al-‘Amal, kebahagiaan itu dapat dicapai dengan mensucikan jiwa serta menyempurnakannya dengan riyadah, mujahadah dan tabattul (beribadah menghadap penuh pada Allah) dengan cara mencapai keutamaan-keutamaan jiwa. Keutamaan jiwa ini dalam pandangan Al-Ghazali juga termasuk pokok-pokok agama atau ushul al-din.
Yang dimaksudkan al-Ghazali sebagai amal yang membawa kebahagiaan tidak lain adalah latihan atau riyadah memerangi syahwat diri. Dengan meminimalkan godaan shahwat itu juga akan meminimalkan sebab-sebab atau faktor kegundahan. Dan memang tidak ada jalan untuk melenyapkan hal itu, kecuali dengan riyadah atau mujahadah (latihan dan perjuangan). Kesemuanya ini disebut ‘amal’ yang mengantarkan pada kebahagiaan. Al-Ghazali menyatakan:
Adapun yang dimaksud dengan ‘amal’ tidak lain adalah melatih syahwat nafsaniyah, memperbaiki atau memenjarakan kemarahan dan memotong sifat- sifat ini, sehingga tunduk pada akal dan tidak dapat menguasai akal itu, juga menundukkannya untuk memenuhi kehendak. Barangsiapa yang mampu menundukan syahwat, maka dialah manusia merdeka sejati, bahkan pemilik atau raja. Meminimalkan shahwat berarti juga meminimalkan sebab- sebab atau sarana kegelisahan kesedihan dan tidak ada jalan untuk memalingkan syahwat kecuali dengan riyadah dan mujahadah (inilah yang disebut ‘amal).
Dalam halaman lain al-Ghazali menyatakan bahwa yang dimaksud dengan amal itu adalah memecah syahwat dengan cara memalingkan kekeruhan jiwa menuju dimensi vertikal, agar terhapus dari pengaruh jiwa kotor, hubungan rendah yang terkait dengan dimensi rendah.
Amal dapat pula dimaknakan dan dikaitkan atau dikembalikan dengan mujahadat al-nafs dengan menghilangkan sesuatu yang tidak sepatutnya. Tentang arti mujahadah dikatakan oleh al-Ghazali bahwa ia adalah mengobati jiwa dengan cara mensucikannya untuk memperoleh kebahagiaan.
Hal tersebut sesuai dengan Al-Qur’an surat Al-Syams ayat 9-10 yang mendeskripsikan keberuntungan manusia yang mensucikan jiwanya, dan kerugian manusia yang mengotori jiwanya (Qad Aflaha Man Zakkaha wa Qad Khaba Man Dassaha).
Dalam amatan al-Ghazali ada tiga kategori manusia dalam memerangi hawa nafsu. Pertama manusia yang dikalahkan dan dikuasai hawa nafsunya. Kedua, terjadi pertarungan antara jiwa dengan nafsu silih berganti, kadang nafsu menguasai dan kadang dikuasai. Ketiga, dapat mengalahkan dan menguasai hawa nafsu laksana raja. Hendaknya manusia jenis pertama dapat mencapai derajat kedua, dan derajat kedua dapat mencapai derajat ketiga.
Al-Ghazali kemudian menyangkal dugaan sementara manusia yang menyatakan bahwa akhlak itu tidak dapat diubah. Al-Ghazali berargumentasi bahwa seandainya akhlak itu tidak dapat diubah, niscaya kita tidak akan diperintahkan untuk memperbagus akhlak kita, sebagaimana sabda Nabi Muhammad, “Hassinu Akhlaqakum” dan akan sia-sia aneka wasiat nasehat motivasi berbuat baik dan teguran. Bukankah hewan pun dapat dididik menjadi lebih baik.
Menurut Al-Ghazali segala yang diciptakan Allah itu tidak lepas dari dua kemungkinan. Pertama, tidak dapat diubah dengan perbuatan atau usaha manusia, seperti langit, bintang,dan anggota badan kita. Kedua, ciptaan Allah yang menerima kesempurnaan setelah ditemukan syarat-syarat pendidikan dengan memaksimalkan ikhtiar. Proses demikian dapat diamati misalnya dari biji kurma yang berubah menjadi pohon kurma dengan pemeliharaan. Konteks puasa sebagai upaya penundukan nafsu ammarah (kemarahan dan syahwat) adalah dalam rangka perbaikan atau pendidikan akhlak ini.
Memang melepaskan akhlak tercela yaitu syahwat dan amarah (ghadab) tidak akan tercapai seketika. Namun jika manusia berkehendak mengendalikan dan memaksa syahwat dan ghadab itu dengan mujahadah dan riyadah yang tujuannya adalah untuk menyempurnakan jiwa dan juga membersihkannya, niscaya manusia akan mampu.
Nah, semoga dengan puasa yang kita jalankan selama sebulan di tiap tahun ini, kita dapat memaknai pendidikan riyadah dan mujahadah ini dengan lebih baik, sehingga dapat mengantarkan kita pada kebahagian jiwa yang pada gilirannya nanti membawa pada kebahagiaan akhirat. Amin.
Bulan Ramadhan adalah bulan yang paling mulia bila dibandingkan dengan bulan yang lain. Karena di dalam bulan Ramadhan ada Lailatul Qadar, segala dosa umat manusia diampuni dan segala amal perbuatan kebaikan dilipatgandakan pahalanya oleh Allah Swt. dan di dalam bulan Ramadlan al-Qur’an pertama kali di turunkan. Peristiwa tersebut tidak pernah ada pada selain bulan Ramadhan. Selain kitab al-Qur’an Allah juga menurunkan kitab-kitab samawi yang lain seperti kitab Taurot, Zabur dan Injil. Hanya saja hukum syariat Islam yang tertuang di dalam masing-masing kitab tersebut satu sama lain tidak sama tetapi dalam masalah ketauhidan (ketuhanan) semua kitab sama yakni sama-sama mengajarkan kepada umat manusia agar menyembah dan meng-Esa-kan Allah SWT.
Al-Qur’an adalah mukjizat nabi Muhammad Saw yang paling agung bila dibandingkan dengan Mukjizat-mukjizat yang lain yang dimiliki oleh beliau Nabi dan atau bila dibanding dengan mukjizat-mukjizat lain yang dimiliki oleh para Nabi sebelum Nabi Muhammad. Adalah wajar jika sampai saat ini bahkan sampai hari kiamat nanti keaslian al-Qur’an masih tetap terjaga. Karena mustahil tidak ada satu orangpun di dunia ini yang dapat memalsukan/merubah ayat-ayat al-Qur’an apalagi mampu menyaingi keindahan kalam-kalam al-Qur’an. Seorang orientalis Barat yang bernama H.A.R Gibb pernah mengatakan bahwa “ Tidak ada seorang pun dalam seribu lima ratus tahun ini yang telah memainkan alat bernada nyaring yang sedemikian nyaring dan indah serta sedemikian luas getaran jiwa yang diakibatkannya, seperti yang di baca Muhammad (al-Qur’an)”. Itulah barangkali salah satu bukti keagungan al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah mukjizat terbesar yang diberikan Allah Swt kepada nabi Muhammad Saw. 14 abad yang silam. al-Qur’an memiliki ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki oleh mukjizat yang lain yang hanya bisa dinikmati dan disaksikan pada zamannya saja. Sejak pertama kali diturunkan al-Qur’an telah mampu merubah arah dan paradigma peradaban ummat manusia dari kesesatan menuju kebenaran dan kebahagian dunia maupun akhirat. Hal ini merupakan salah satu pengaruh ajaran dan ilmu pengetahuan yang terkandung dalam al-Qur’an.
Al-Qur’an pertama kali diturunkan pada malam Lailatul Qadar tanggal, 17 Ramadhan tepatnya saat beliau Nabi Muhammad Saw berusia 40 tahun. al-Qur’an diturunkan ke bumi tidak sama dengan kitab-kitab sebelumnya yang diturunkan hanya satu kali langsung selesai. Tetapi al-Qur’an diturunkan dengan cara berangsur-angsur atau sedikit demi sedikit (bertahap) sesuai dengan kebutuhan atau sesuai dengan permasalah yang terjadi saat itu untuk memberikan jawaban atas permasalah yang dihadapi para Sahabat nabi kala itu.
Al-Qur’an diturunkan (Nuzulul Qur’an) membutuhkan waktu yang cukup lama yaitu selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Apa hikmahnya? Adalah untuk menguatkan rasa cinta hati nabi Muhammad dan para sahabat nabi agar selalu merasa senang setiap kali turunnya ayat al-Qur’an. Disamping itu, al-Qur’an diturunkan dengan cara berangsur-angsur agar supaya para sahabat lebih mudah menghafalkan ayat-ayat al-Qur’an yang telah diturunkan lebih dahulu.
al-Qur’an diturunkan ada kalanya yang mempunyai sebab (Asbab an-Nuzul) seperti ayat al-Qur’an yang diturunkan untuk menjawab sebuah pertanyaan dari permasalah yang dihadapi para sahabat Nabi kala itu, ataupun pertanyaan yang disampaikan oleh orang-orang kafir. Namun ada juga ayat al-Qur’an yang diturunkan tetapi tidak mempunyai Asbab an-Nuzul seperti ayat al-Qur’an yang diturunkan untuk menceritakan umat-umat Nabi terdahulu atau menjelaskan tentang perkara-perkara gaib yang akan terjadi di hari nanti. Seperti ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang surga atau neraka, ataupun ayat al-Qur’an yang menggambarkan tentang kejadian hari kiamat nanti, ayat-ayat al-Qur’an yang seperti itu diturunkan tidak mempunyai Asbab an-Nuzul. Ayat al-Qur’an seperti itu, diturunkan oleh Allah dimaksudkan untuk memberikan hidayah kepada umat manusia agar mau mengambil hikmah dari semua kejadian yang diceritakan oleh al-Qur’an terutama ayat al-Qur’an yang menceritakan tentang adzab, musibah dan bencana dari Allah yang diturunkan kepada ummat-ummat terdahulu yang merupakan akibat dari perbuatan dosa yang telah mereka lakukan. Sehingga kita semua mau kembali ke jalan yang benar yang diridhoi oleh Allah Swt untuk tidak melakukan dosa dan maksiat kepada Allah Swt.
Al-Qur’an diturunkan oleh Allah Swt. sebanyak 30 juz, 114 surah, 6.236 ayat. Isi kandungannya dibagi menjadi tiga bagian. Sebagian dari isi al-Qur’an menjelaskan tentang sifat wajib Allah. Sebagian yang lain isi kandungan al-Qur’an menjelaskan tentang hukum-hukum syariat Islam dan sebagian diantaranya menceritakan tentang kejadian dan perilaku umat nabi terdahulu baik umat yang beriman kepada Allah ataupun umat yang inkar kepada-Nya.
Ada sebuah pertanyaan yang sangat sederhana. al-Qur’an adalah kalamullah (Firman Allah), Kalamullah secara tinjauan ilmu tauhid adalah sesuatu yang tidak ada huruf dan tidak ada suaranya, ( Maa laisa biharfin walaa sautin ) tapi kenapa al-Qur’an yang merupakan kalamullah ternyata ada huruf dan ada suaranya bila dibaca? Dalam sebuah keterangan dijelaskan bahwa kalamullah terbagi menjadi 2 (dua) bagian:
1. Ada kalamullah sebangsa sifat yang maha terdahulu yang melekat pada dzatnya Allah. Kalamullah seperti itu yang tidak ada huruf dan suaranya;
2. Ada Kalamullah sebangsa lafadz yang diturunkan kepada para Nabi/Rasul, Kalamullah yang seperti ini yang ada huruf dan suaranya. Seperti al-Qur’an, Taurot, Injil dan Zabur.
Untuk itu, dengan momentum bulan Ramadlan ini mari kita sama-sama untuk membudayakan agar rumah, kantor, masjid/mushola dan sekolahkita selalu dihiasi dengan bacaan al-Qur’an. Jadikan generasi muda kita generasi yang cinta al-Qur’an, jadikan hidup kita agar selalu berpegang teguh dengan ajaran al-Qur’an. Insya Allah semakin sering kita membaca dan mengamalkan perintah al-Qur’an semakin besar harapan kita untuk mendapatkan syafa’at dari al-Qur’an di hari Kiamat nanti.
Puasa dan Kejujuran
Di era materialisme dewasa ini, kejujuran telah banyak dicampakkan dari tata pergaulan sosial-ekonomi-politik dan disingkirkan dari bingkai kehidupan manusia. Fenomena ketidak jujuran benar-benar telah menjadi realitas sosial yang menggelisahkan. Drama ketidakjujuran saat ini telah berlangsung sedemikian transparan dan telah menjadi semacam rahasia umum yang merasuk ke berbagai wilayah kehidupan manusia. Sosok manusia jujur telah menjadi makhluk langka di bumi ini. Kita lebih mudah mencari orang-orang pintar daripada orang-orang jujur. Keserakahan dan ketamakan kepada materi kebendaan, mengakibatkan manusia semakin jauh dari nilai-nilai kejujuran dan terhempas dalam kubangan materialisme dan hedonisme yang cendrung menghalalkan segala cara.
Pada masa sekarang, banyak manusia tidak mempedulikan jalan-jalan yang halal dan haram dalam mencari uang dan jabatan . Sehingga kita sering mendengar ungkapan-ungkapan kaum materialis, “Mencari yang haram saja sulit, apalagi yang halal”. Bahkan selalu diucapkan orang,”kalau jujur akan terbujur”,”kalau lurus akan kurus”,kalau ihklas akan tergilas”.
Ungkapan-ungkapan itu menunjukkan bahwa manusia zaman kini telah dilanda penyakit mental yang luar biasa, yaitu penyakit korup dan ketidak jujuran.
Nabi muhammad Saw pernah memprediksi, bahwa suatu saat nanti, diakhir zaman,manusia dalam mencari harta,tidak mempedulikan lagi mana yang halal dan mana yang haram. (HR Muslim).
Ramalan Nabi pada masa kini telah menjadi realitas sosial yang mengerikan, bahkan implikasinya telah menjadi patologi sosial yang parah, seperti menjamurnya korupsi, pungli, suap, sogok,uang pelicin dsb. Banyak kita temukan pencuri-pencuri berdasi melakukan penyimpangan-penyimpangan dalam mengelola proyek. Manusia berlomba-lomba mengejar kekayaan dan kemewahan dunia secara massif, tanpa mempedulikan garisan-garisan syariah dan moralitas.
Era reformasi yang telah berlangsung lebih lebih sepuluh tahun, praktek kolusi,korupsi dan suap menyuap masih saja menjadi kebiasaan masyarakat kita . Untuk mengatasi dan mengurangi segala destruktip tersebut, puasa merupakan ibadah yang paling ampuh dan efektif, asalkan pelaksanaan puasa tersebut dilakukan dengan dasar iman yang mantap kepada Allah, dan ihtisab (mawas diri), serta penghayatan yang mendalam tentang hikmat yang terkandung di dalam puasa Ramadhan.
Puasa melatih kejujuran
Berbeda dengan sifat ibadah yang ada, puasa adalah ibadah sirriyah (rahasia). Dikatakan sirriyah, karena yang mengetahui seseorang itu berpuasa atau tidak, hanyalah orang yang berpuasa itu sendiri dan Allah SWT.
Dalam ibadah puasa, kita dilatih dan dituntut untuk berlaku jujur. Kita dapat saja makan dan minum seenaknya di tempat sunyi yang tidak terlihat seorangpun. Namun kita tidak akan mau makan atau minum, karena kita sedang berpuasa. Padahal, tidak ada orang lain yang tahu apakah kita puasa atau tidak. Namun kita yakin, perbuatan kita itu dilihat Allah swt..
Orang yang sedang berpuasa juga dapat dengan leluasa berkumur sambil menahan setetes air segar ke dalam kerongkongan, tanpa sedikitpun diketahui orang lain. Perbuatan orang itu hanya diketahui oleh orang yang bersangkutan. Hanya Allah dan diri si shaim itu saja yang benar-benar mengetahui kejujuran atau kecurangan dalam menjalankan ibadah puasa. Tetapi dengan ibadah puasa, kita tidak berani berbuat seperti itu, takut puasa batal.
Orang yang berpuasa dilatih untuk menyadari kehadiran Tuhan. Ia dilatih untuk menyadari bahwa segala aktifitasnya pasti diketahui dan diawasi oleh Allah SWT.Apabila kesadaran ketuhanan ini telah menjelma dalam diri seseorang melalui training dan didikan puasa, maka Insya Allah akan terbangun sifat kejujuran.Jika manusia jujur telah lahir, dan menempati setiap sektor dan instansi, lembaga bisnis atau lembaga apa saja, maka tidak adalagi korupsi, pungli, suap-menyuap dan penyimpangan-penyimpangan moral lainnya.
Kejujuran merupakan mozaik yang sangat mahal harganya. Bila pada diri seorang manusia telah melekat sifat kejujuran, maka semua pekerjaan dan kepercayaan yang diamanahkan kepadanya dapat di selesaikan dengan baik dan terhindar dari penyelewengan-penyelewengan. Kejujuran juga menjamin tegaknya keadilan dan kebenaran.
Secara psikologis, kejujuran mendatangkan ketentraman jiwa. Sebaliknya, seorang yang tidak jujur akan tega menutup-nutupi kebenaran dan tega melakukan kezaliman terhadap hak orang lain.Ketidakjujuran selalu meresahkan masyarakat, yang pada gilirannnya mengancam stabilitas sosial. Ketidak jujuran selalu berimplikasi kepada ketidakadilan. Sebab orang yang tidak jujur akan tega menginjak-injak keadilan demi keuntungan material pribadi atau golongannya.
Berlaku jujur, sungguh menjadi bermakna pada masa sekarang,, masa yang penuh dengan kebohongan dan kepalsuan. Pentingnya kejujuran telah banyak disapaikan Rasulullah SAW. Diriwayatkat bahwa, Rasulullah pernah didatangi oleh seorang pezina yang ingin taubat dengan sebenarnya. Rasulullah menerimanya dengan satu syarat, yaitu,agar orang tersebut berlaku jujur dan tidak bohong
Syarat yang kelihatan sangat ringan untuk sebuah pertaubatan besar, tetapi penerapannya dalam segala aspek kehidupan sangat berat.Dan ternyata syarat jujur tersebut sangat ampuh untuk menghentikan perbuatan zina. Jika ia tetap berzina secara sembunyi-sembunyi, lalu bagaimana ia harus menjawab jika Rasulullah menanyainya tentang apakah ia masih berzina atau tidak.Untuk menghindari berbohong kepada Nabi, maka si pezina mengakhiri prilakunya yang dusta itu dan kemudian benar-benar bertaubat dengan penuh penghayatan.
Dari riwayat itu dapat ditarik kesimpulan, bahwa kejujuran sangat signifikan dalam membersihkan prilaku menyimpang, seperti korupsi, kolusi, penipuan, manipulasi, suap-menyuap dan sebagainya.
Dewasa ini kesadaran untuk menumbuhkan sifat kejujuran sebagai buah dari ibadah puasa, kiranya perlu mendapat perhatian serius. Pendidikan kejujuran yang melekat pada ibadah puasa, perlu dikembangkan sebagai bagian dari kehidupan riel dalam masyarakat. Sebab apabila kejujuran telah disingkirkan, maka kondisi masyarakat akan runyam. Korupsi dan kolusi terjadi di mana-mana, pungli merajalela, kemungkaran sengaja dibeking oleh oknum-oknum tertentu demi mendapatkan setoran uang.
Fenomena kebohongan dan tersingkirnya sifat kejujuran, mengantarkan masyarakat dan bangsa kita pada beberapa musibah nasional yang berlangsung secara beruntun dan silih berganti tiada henti. Terjadinya malapetaka berupa krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia adalah cermin paling jelas dari makin hilangnya sukma. kejujuran dan semakin mekarnya kepalsuan dalam kehidupan bangsa kita.
Dalam menghadapi kasus-kasus yang gawat seperti itu, pesan-pesan profetik keagamaan seperti pesan luhur ibadah puasa dapat ditransformasikan untuk membongkar sangkar kepalsuan dan mem bangun kejujuran.
Ada yang secara pesimis berpendapat, bahwa membangun kejujuran pada era materialisme adalah suatu utopia (angan-angan) mengingat mengakarnya sifat ketidak jujuran dalam masyarakat dan bangsa kita. Sebagai orang beriman yang menyandang peringkat khairah ummah, sikap pesimis di atas harus dibuang jauh-jauh.Sebab gerakan amarma’ruf nahi mungkar yang dilandasi iman, harus tetap dilancarkan, agar konstelasi dunia ini tidak semakin parah.
Realitas menunjukkan, bahwa kesemarakan ramadhan dari tahun ke tahun semakin meningkat, namun ironisnya, bersamaan dengan itu penyimpangan dan ketidakjujuran masih berjalan terus. Padahal, suatu bulan kita dilatih dan didik untuk berlaku jujur, menjadi orang yang dapat dipercaya. Bila selama satu bulan itu, orang-orang yang berpuasa benar-benar berlatih secara serius dengan penuh penghayatan terhadap hikmah puasa, maka pancaran kejujuran akan terpantul dari dalam jiwa mereka. Kalau puasa Ramadhan yang dilakukan tidak melahirkan manusia-manusia jujur, berarti kualitas puasa orang tersebut masih sebatas lapar dan dahaga. Karena puasa yang dilakukan tidak memantulkan refleksi kejujuran. Kalau orang yang berpuasa, masih mau menerima suap dari orang-orang yang mencari pekerjaan, berarti kualitas ibadah orang tersebut masih sangat rendah. Kalau orang yang berpuasa, masih mau melakukan mark up dalam proyek, korupsi dan kolusi, berarti puasa yang dilakukan masih jauh dari tujuan puasa.
Kalau pasca puasa Ramadhan, kejujuran semakin tipis atau sirna,pungli,korupsi dan kolusi tetap menjadi kebiasaan, barang kali puasa yang dilakukan tidak didasari iman, tetapi mungkin ia melakukan puasa hanya karena mengikuti tradisi. Untuk mewujudkan manusia jujur, perlu peningkatan iman dan penghayatan kesadaran kehadiran Tuhan. Tanpa upaya ini, kejujuran tak kan lahir dari orang yang berpuasa Cara awalnya ialah dengan mengikuti Training ESQ atau Pesantren Qalbu. Hasilnya sudah terbukti secara sifnifikan di mana-mana. Banyak BUMN omzetnya meningkat secara signifikan setelah para direktur dan managernya ikut training ESQ (Emosional Spitual Quentiont). yang dilaksanakan oleh Ary Ginanjar Agustian.
Abdul Rofi’ Afandi
Ditulis oleh Yusuf Suharto
http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view=article&id=1267%3Apuasa-dan-kejujuran&catid=15%3Apengajian&Itemid=63