Prinsip-prinsip toleransi agama ini, yang merupakan bagian dari visi teologi atau akidah, telah dimiliki Islam, maka sudah selayaknya jika umat Islam turut serta aktif untuk memperjuangkan visi-visi toleransinya di khalayak masyarakat plural.
Walaupun Islam telah memiliki konsep pluralisme dan kesamaan agama, maka hal itu tak berarti para muballigh —atau pendeta dan sebagainya— berhenti untuk mendakwahkan agamanya masing-masing. PERBEDAAN umat manusia, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat-istiadat, budaya, bahasa serta agama dan sebagainya, merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan Tuhan SWT.
Landasan dasar pemikiran ini adalah firman Tuhan SWT, "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal" (QS. Al-Hujurat 13). Segenap manusia tidak akan bisa menolak sunnatullah ini. Dengan demikian, bagi manusia, sudah selayaknya untuk mengikuti petunjuk Tuhan SWT dalam menghadapi perbedaan-perbedaan itu.
Salah satu risalah penting yang ada dalam teologi Islam adalah toleransi antar penganut agama-agama yang berbeda. Risalah ini masuk dalam kerangka sistem teologi Islam karena Tuhan SWT senantiasa mengingatkan kepada kita akan keragaman manusia, baik dilihat dari sisi agama, suku, warna kulit, adat dan sebagainya. Dalam hal teologi, keragaman agama tentu menjadi titik fokus risalah toleransi ini. Toleransi adalah sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain, dengan memiliki kebebasan untuk menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (ibadah) masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik untuk beribadah maupun untuk tak beribadah, dari satu pihak ke pihak lain.
Hal demikian, dalam tingkat praktek-praktel sosial, dapat dimulai dari sikap-sikap bertetangga. Karena toleransi yang paling hakiki adalah sikap kebersamaan antar penganut keagamaan dalam praktek-praktek sosial, kehidupan bertetangga dan bermasyarakat, serta bukan hanya sekedar pada tataran logika dan wacana. Seorang muslim yang sejati –atau tanda-tanda keimanan seseorang— , dalam sebuah Hadits Nabi Muhammad SAW, adalah bagaimana dia bersikap kepada tetangga. "Man K?¢na Yu'minu Bill?¢hi wal-Yawmil-?¢khiri Fal-Yukrim J?¢rahu", barang siapa yang beriman kepada Tuhan SWT dan Hari Akhir, maka hendaknya dia memuliakan tetangganya. Tidak ada sama sekali dikotomi apakah tetangga itu seiman dengan kita atau tidak. Dan tak seorang pun berhak untuk memasuki permasalahan iman atau tak beriman. Ini penting untuk diperhatikan, bahwa dikotomi seiman dan tak seiman sangat tidak tepat untuk kita terapkan pada hal-hal yang memiliki dimensi humanistik.
Bahkan, ketika suatu saat Nabi Muhammad SAW hendak melarang seorang sahabat untuk bersedekah kepada orang non-muslim yang sedang membutuhkan, Tuhan SWT segera menegur beliau dengan menurunkan ayat, "Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siap yang dikehendaki-Nya" (QS. 2 : 272). Maksudnya, kita tidak perlu untuk membeda-bedakan orang-orang yang miskin, apakah mereka itu seiman dengan kita atau tidak. Mengapa? Karena petunjuk atau hidayah ada dalam kekuasaan Tuhan SWT. Sedangkan urusan manusia adalah mengajak kepada kebaikan, keadilan dan kesejahteraan yang ada di dunia. Dengan turunnya ayat tersebut, Nabi SAW pun segera memerintahkan umat Islam untuk bersedekah jika mendapatkan orang non muslim sedang membutuhkan (Riwayat Ibnu Ab?® H?¢tim dari Ibnu 'Abb?¢s RA).
Sikap-sikap yang diajarkan dari Tuhan SWT kepada Nabi SAW tersebut wajib untuk dilakukan oleh umat Islam dalam bersikap kepada non muslim, termasuk kepada, misalnya, orang tua kita yang, mungkin, tidak seiman dengan kita. Asma RA, putri Abu Bakar RA, pernah menolak ketika ibunya, yang non muslim, mau menemuinya . Akan tetapi, ketika berita itu sampai kepada Nabi SAW, maka beliau memerintahkan Asma supaya menemui dan menghormatinya. Ketika Nabi SAW dan para sahabat sedang berkumpul, lewatlah rombongan orang Yahudi yang mengantar jenazah. Nabi SAW langsung berdiri, memberikan penghormatan. Seorang sahabat berkata, "Bukankah mereka orang Yahudi, Wahai Rasul?". Nabi SAW menjawab, " …tapi mereka manusia juga".
Jadi, sudah jelas, bahwa sisi akidah atau teologi bukanlah urusan manusia, melainkan Tuhan SWT. Sedangkan kita bermuamalah dari sisi kemanusiaan kita. *** Dengan demikian, sikap toleransi yang paling utama untuk kita tumbuh-kembangkan adalah praktek-praktek sosial kita sehari-hari, yang berdasarkan kepada prinsip, seperti yang telah disebutkan di atas, dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain, dan hal ini dengan kita awali bagaimana kita bersikap yang baik dengan tetangga terdekat kita, tanpa membedakan mereka dari sisi apapun.
Namun, untuk bersikap toleran kepada tetangga tentu dapat kita mulai terlebih dahulu bagaimana kemampuan kita mengelola dan mensikapi perbedaan (pendapat) yang (mungkin) terjadi pada keluarga kita. Jadi, sebelum kita bersikap toleran kepada tetangga, kita terlebih dahulu mencoba untuk membangun sikap plural dan perbedaan (pendapat) dalam anggota keluarga kita. Membangun sikap toleran dalam keluarga sangat penting, karena ia menjadi salah satu syarat mutlak untuk mencapai derajat keluarga sakinah yang penuh barokah dari Tuhan SWT. Sehingga, ketika dalam keluarga –sebagai komunitas terkecil— kita sanggup untuk mengelola perbedaan dan pluralisme, maka modal kemampuan itu akan menghantarkan kita kepada sikap toleran atas perbedaan-perbedaan dalam masyarakat (tetangga) dan yang lebih luas. Catatan-catatan ringan tentang aksi dan praktek toleransi tersebut di atas hendaknya tidak dipandang sebelah mata, sebab selama ini sikap-sikap intoleransi dan permusuhan, khususnya yang terjadi antar penganut agama, justru kebanyakan muncul dari kalangan elit atau tokoh masyarakat, dan jarang sekali yang muncul murni dari bawah.
Berbagai kasus konflik antar agama yang terjadi, justru tak semuanya murni karena dorongan semangat permusuhan yang muncul untuk membela agama masing-masing. Dimensi-dimensi sosiologi dan antropologi yang mengitari masyarakat konflik tersebut harus mendapatkan perhatian dari kita. Sebab, kita akan terjebak untuk kesekian kalinya dengan berbagai kekhilafan-kekhilafan yang tak seharusnya terjadi, seperti sikap curiga dan sebagainya, yang diakibatkan oleh konflik-konflik tersebut. Padahal, sikap curiga mencurigai itu sendiri bukanlah sikap yang akan mampu menyelesaikan permasalahan kerukunan antar umat, melainkan justru akan menambah daftar konflik horisontal. Di sini pula letak kekurangan kalangan yang sering menyuarakan sikap-sikap toleransi agama.
Suara-suara dan pemikiran itu, dalam pandangan penulis, bukan tidak tepat. Ia kurang bisa masuk dan meresap dalam masyarakat yang terlibat konflik karena kebutuhan murni masyarakat tersebut bukanlah konsep-konsep perdamaian dan hidup rukun, akan tetapi keadilan ekonomi, politik, pendidikan dan sebagainya. Belum lagi jika terbukti bahwa ketegangan antar umat beragama, khususnya dalam konteks masyarakat Indonesia, lebih dikarenakan permainan politik elit-elit yang berkuasa. Jika yang terakhir ini benar, atau mendekati kebenaran, maka problem kemasyarakatan kita bermuara kepada problem politik.
Penulis bahkan meyakini bahwa masyarakat yang terlibat perang agama, baik di Indonesia atau di manapun, sejatinya juga menyadari akan prinsip-prinsip toleransi yang dikandung oleh agamanya masing-masing. Akan tetapi, mereka sedang disuguhi sajian-sajian yang menyeret mereka untuk meninggalkan kesadaran-kesadaran yang sebenarnya sangat kuat dalam dogma agama mereka masing-masing.
Prinsip Toleransi Dalam Perspektif Islam Ketika kita sudah meyakini bahwa hidayah atau petunjuk adalah hak mutlak Tuhan SWT, maka dengan sendiri kita tidak sah untuk memaksakan kehendak kita kepada orang lain untuk menganut agama kita. Namun demikian, kita tetap diwajibkan untuk berdakwah, dan itu berada pada garis-garis yang diperintahkan oleh Tuhan SWT. Prinsip toleransi antar umat beragama dalam perspektif Islam adalah "Lakum D?®nu-kum Wa Liya D?®n?®", untukmu agamamu, dan untukku agamaku.
Prinsip tersebut adalah penggalan dari surat Al-K?¢fir?»n, di mana surat tersebut turun karena ajakan orang-orang Mekkah yang ingkar kepada kenabian Muhammad SAW untuk beribadah secara bergantian : orang-orang Mekkah bersama Nabi SAW beribadah secara agamanya, dan mereka bersedia untuk beribadah bersama Nabi SAW secara Islam. Atas dasar usulan ini, Nabi SAW mendapatkan konsepsi dari Tuhan SWT bahwa agama mereka adalah agama mereka, dan Islam adalah Islam.
Keduanya tak bisa dicampur-adukkan, tetapi tak harus menimbulkan pertikaian, karena urusan kebenaran dan petunjuk hanya kekuasaan-Nya. Ini adalah prinsip yang didasarkan kepada pengakuan keberagamaan kita sekaligus penghormatan kepada keberagamaan selain kita. Pada taraf ini konsepsi tidak menyinggung kebenaran agama kita dan agama selain kita, juga bukan sebaliknya, membenarkan agama kita sambil menyalahkan kepada agama lain.
Dalam masa kehidupan di dunia, dan untuk urusan dunia, semua haruslah kerjasama untuk mencapai keadilan, persamaan dan kesejahteraan manusia. Menghilangkan kediktatoran, penindasan terhadap manusia, menolong kaum miskin dan sebagainya. Di sinilah letak ungkapan atau pemikiran yang mengatakan bahwa semua agama itu sama dan –secara hakekat— menyembah Tuhan yang sama. Seluruh agama mengajak kepada kebaikan di dunia, bersikap adil, berkasih sayang serta membantu yang memerlukan dan sebagainya, dan itulah nilai universal yang ada pada setiap agama. Di sini, setiap agama mengalami kesamaan. Sedangkan untuk urusan akhirat, baik itu meliputi keadilan, kebahagiaan, pahala serta ganjaran atau sorga dan neraka, seperti halnya hidayah atau petunjuk, maka itu adalah mutlak urusan Tuhan SWT.
Dikisahkan, suatu ketika sahabat Salman Al-F?¢ris?® bercerita di hadapan Nabi SAW, dan juga para sahabat, tentang cara-cara ibadah masyarakat di kampung halamannya , orang Majusi, kaum penyembah api yang hidup di kawasan Iran. Setelah Al-F?¢ris?® selesai bercerita, Nabi SAW berkomentar, "Mereka masuk neraka". Atas komentar ini, turunlah ayat yang berbunyi, "Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Sh?¢bi-?®n, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat.
Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu" (QS. 22:17). Juga turun ayat berikut : "Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabi'?®n, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati". (QS. 2:62) Pada ayat tersebut telah dijelaskan, bahwasanya siapapun dan agama apapun, maka keputusan akhir pada Hari Kiamat ada pada Tuhan SWT. Baik itu orang Islam, Yahudi, Kristen bahkan Majusi dan Shabi'in. Kaum Majusi adalah penyembah api, sedangkan kaum Shabi’in adalah kaum yang berkeyakinan bahwa dunia ini ada Sang Pencipta Yang Maha Esa, namun mereka mengakui
baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk". (QS. 16:125)
Mengikuti tahun hijriyah akan lebih mengakrabkan kita dengan alam, dan otomatis akan lebih mendekatkan kita kepada Allah Sang Pencipta Yang Maha Kuasa.
Baru saja kita memasuki bulan Muharram, bulan yang mengawali tahun baru hijriyah kita untuk tahun 1425 H. Bulan yang tiba-tiba menghentak batin kita untuk segera mengenang peristiwa besar dalam sejarah, yaitu peristiwa hijrahnya Rasulullah SAW. dari kota Makkah menuju kota Madinah. Setiap awal tahun hijriyah seperti ini kita seharusnya sebagai umat Islam segera membangun semangat baru untuk meningkatkan ketakwaan dalam diri kita. Meningkatkan ketaatan kepada Allah. Dan kita segera mengucapkan pada hari-hari yang telah lewat dari tahun 1424 H. : " selamat jalan, selamat menjadi teguran sejarah atas segala kekurangan dan kami berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang telah menyebabkan malapetaka dan kesengsaraan terhadap hidup kami di dunia maupun di akhirat ".
Apa yang menarik dari setiap kita memasuki tahun baru adalah munculnya kesadaran baru dalam diri kita. Kesadaran akan beberapa hal : Pertama, kesadaran bahwa diakui atau tidak usia kita telah berkurang. Sementara investasi pahala untuk simpanan di akhirat masih sangat tipis, dibanding nikmat-nikmat Allah yang setiap detik selalu mengalir. Tiada putus-putusnya. Dari segi ini saja kita seharusnya merasa malu, di mana kita yang mengaku sebagai hamba Allah tetapi dalam banyak hal orientasi kita menkonsumsi nikmat-nikmat Allah dan lupa bersyukur kepadaNya, bahkan kita sering mengaktualisasaikan diri kita sebagai hamba dunia. Kita masih saja lebih banyak sibuk menginvestasi kepentingan dunia dari pada investasi untuk akhirat.
Dengan datangnya tahun baru ini, semoga semangat untuk membangun kemegahan akhirat lebih kuat dari semangat untuk membangun kemegahan dunia. Kedua, pada tanggal 1 Muharram kita menyaksikan suatu perubahan waktu yang ditandai oleh pergeseran alam, yaitu munculnya bulan sabit tahun baru di ufuk barat. Dari sini kita menyaksikan diri kita berjalan seirama dengan perjalanan segala wujud di alam ini. Allah SWT yang menciptakan semua mahluk, selalu mengajarkan kita agar senantiasa memperhatikan kebesaraNya dengan menyaksikan ketaraturan dan kerapian ciptaanNya di alam semesta ini. Untuk itu kita diajarkan pula agar dalam menjalani ibadah kepadaNya selalu memperhatikan waktu-waktu tertentu yang sejalan dengan perputaran tata surya.
Dalam menjalani shalat misalnya, Allah mengaskan dalam Al-Qur'an agar ditegakkan pada waktu-waktu tertentu (QS. Al-Nisa: 103). Dan kita telah tahu bahwa waktu shalat Dzuhur setelah tergelincir matahari, shalat maghrib, setelah terbenam matahari, shalat subuh setelah terbit fajar dan lain sebagainya. Dalam menjalani puasa Ramadlan, kita juga diajarakan oleh Rasulullah SAW agar memulainya setelah melihat bulan tanggal satu Ramadlan, dan mengakhirinya pun setelah melihat bulan akhir Ramadhan. (HR, Imam Muslim). Ibadah hajipun Allah mengajarkan agar dilaksanakan pada bulan-bulan tertentu,(QS. Al-Baqarah: 197) Syawal, Dzulqa'dah dan dzulhijjah.
Semuanya itu sungguh menunjukkan betapa eratnya aktifitas ibadah kita dengan aktifitas alam. Dari sini terlihat dengan jelas betapa mengikuti tahun hijriyah akan lebih mengakrabkan kita dengan alam, dan otomatis akan lebih mendekatkan kita kepada Allah Sang Pencipta Yang Maha Kuasa. Ketiga, bahwa tahun hijriyah berjalan seirama dengan perjalanan sejarah Rasulullah SAW. Sungguh banyak peristiwa besar dalam sejarah Islam yang hanya terekam dalam bulan-bulan hijriyah. Seperti awal turunnya Al-Qur'an, titik permulaan hijrah, tanggal kemenangan dalam perang Badar dan lain sebagainya. Hari-hari besar Islam, seperti hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, sangat terkait dengan penanggalan hijriyah ini.
Dari sini kita akan lebih banyak belajar pada sejarah untuk membangun masa depan kita. Dalam arti kata lain kita akan menjadi pribadi yang pandai membangun masa depan dengan pijkan masa lampau yang kokoh dan benar. Dan kita dengan langkah ini tidak mengulang kesalahan dan kecelakaan masa lalu. Sebagaimana yang tersebut dalam sebuah riwayat: "Seorang mu'min tidak akan pernah terjerumus dalam jurang yang sama dua kali". ( HR Muslim) Dengan demikian, adalah kesadaran yang benar jika dalam permualaan tahun baru hijriyah ini, kita umat Islam membangun tekad baru, untuk meningkatkan ketakwaan dan ketaatan kepada Allah, sebagaimana yang baru saja ditegaskan pada awal tulisan ini. Karena hanya dari tekad inilah segala krisis yang pernah kita lalui pada tahun-tahun sebelumnya akan bisa diatasi. Selamat memulai tahun baru hijriyah dan selamat membangun masa depan umat ini dengan ketakwaan yang hakiki.
Wudhu’ itu sehat.
Secara kesehatan wudlu sangat bermanfaat. Kalau diperhatikan, anggota badan yang dibasuh ketika berwudlu adalah anggota-anggota badan yang sering terbuka. Anggota badan kita yang terbuka sangat rentan didatangi kuman, selain memang kulit kita dihuni oleh kuman-kuman yang normal keberadaannya, kuman-kuman yang bersifat simbiotik mutualisme (keberadaannya membantu kulit misalnya dalam sistem pertahannan tubuh) juga kuman-kuman simbiotik komensalisme (keberadaanya tidak menimbulkan kerugian/penyakit) juga yang patogen potensial (opportunistic) (kuman yang akan menimbulkan penyakit), kuman-kuman ini yang dikenal dengan flora normal kulit.
"Wahai orang-orang yang beriman apabila engkau hendak mendirikan sholat, maka basuhlah muka-muka kalian, tangan-tangan kalian hingga siku, dan usaplah kepala kalian dan basuhlah kaki-kaki kalian hingga kedua tumit" (al-Maidah : 6). Salah satu kewajiban kita adalah berwudlu yang merupakan syarat untuk mendirikan shalat. Secara syar'i, wudlu ditujukan untuk menghilangkan hadast kecil agar kita sah menjalankan ibadah, khususnya sholat. Minimal lima kali dalam sehari kita melakukan wudlu, yaitu untuk menjalankan sholat lima waktu. Meski demikian, kita dianjurkan untuk berwudlu tidak hanya ketika hendak mendirikan sholat, namun juga ketika hendak melakukan ibadah atau amalan yang baik, misalnya ketika kita hendak membaca al-Qur'an, ketika kita hendak mengikuti pelajaran, pengajian atau ketika kita hendak memasuki masjid dan mushola.
Bahkan ketika kita hendak makan pun dianjurkan untuk mengambil air wudlu, dalam sebuah hadist Rasulullah s.a.w. bersabda :"keberkahan makanan adalah dengan wudlu sebelum dan sesudahnya" (Abu Dawud). Secara kesehatan wudlu sangat bermanfaat. Kalau diperhatikan, anggota badan yang dibasuh ketika berwudlu adalah anggota-anggota badan yang sering terbuka. Anggota badan kita yang terbuka sangat rentan didatangi kuman, selain memang kulit kita dihuni oleh kuman-kuman yang normal keberadaannya, kuman-kuman yang bersifat simbiotik mutualisme (keberadaannya membantu kulit misalnya dalam sistem pertahannan tubuh) juga kuman-kuman simbiotik komensalisme (keberadaanya tidak menimbulkan kerugian/penyakit) juga yang patogen potensial (opportunistic) (kuman yang akan menimbulkan penyakit), kuman-kuman ini yang dikenal dengan flora normal kulit. Menurut ilmu bacteria (mikrobakteriology), 1 cm meter persegi dari kulit kita yang terbuka bisa dihinggapi lebih 5 juta bakteri yang bermacam-macam. Bakteri ini perkembangannya sangat cepat dan salah satu faktor yang paling mempengaruhi perkembangannya adalah keseimbangan asam-basa (pH).
PH permukaan kulit sangat berperan dalam memproteksi tubuh dan membatasi perkembangan kuman yang akan menimbulkan penyakit. Ketika membasuh kulit dengan air, maka keseimbangan pH dan kelembaban itu akan terkoreksi kembali dan diharapkan kembali normal. Kulit kita terdiri atas beberapa lapisan, salah satunya adalah epidermis pada lapisan terluar (yang mengadakan kontak langsung dengan lingkungan luar). Pada lapisan ini terdapat lapisan sel tanduk (stratum corneum) yang selalu mengalami deskuamasi (penggantian dan pembuangan sel-sel kulit mati pada stratum korneum) dan kadang sel-sel kulit yang mati dan mengelupas itu akan menyumbat pori-pori yang juga bermuara pada lapisan epidermis, hal inilah yg dapat menimbulkan penyakit pada kulit. Ketika berwudlu, maka air akan membantu membuang kotoran-kotoran, sisa-sisa sel kulit mati tadi dan meminimalisir jumlah kuman pada permukaan kulit kita.
Menurut para ahli pada lembaga riset trombosis di London (Inggris), jika seseorang selalu mandi atau membasuh anggota tubuhnya, maka akan memperbaiki dan melancarkan sistem peredaran darah, air yang mengandung elektrolit-elektrolit akan membuat pembuluh-pembuluh darah mengalami vasodilatasi (pelebaran) sehinggga memperlancar peredarannya. Juga yang lebih penting adalah efek air pada tubuh kita, yaitu meningkatkan produksi sel-sel darah putih (leukosit) yang sangat berperan penting dalam system pertahanan tubuh (immunitas). Bahkan dari bunyi gemericik air dan kesejukannya, saraf-saraf tubuh yang mengalami ketegangan akibat aktifitas sebelumnya akan mengalami relaksasi juga mengembalikan kemampuan kerja otot-otot tubuh kita.
Ketika berwudlu, kita juga dianjurkan berkumur, bersiwak (gosok gigi), membersihkan hidung, dan membersihkan sela-sela jari tangan dan kaki. Rasulullah s.a.w. pernah mengingatkan kepada umatnya :"Alangkah baiknya orang-orang yang mau menyela-nyela? Mereka bertanya: Siapa mereka wahai Rasulullah? Beliau menjawab : Mereka adalah yang mau menyela-nyela dalam wudlu dan dari makanan, dalam wudlu adalah dengan berkumur, menghisap air hidung dan menyela-nyela jari-jemari mereka pada saat berwudlu, sedangkan menyela-nyela gigi adalah membersihkannya dari bekas makanan. Sesungguhnya yang paling menjengkelkan kedua malaikat (pencatat) adalah ketika mereka melihat bekas makanan di sela-sela gigi mereka sedangkan mereka mendirikan sholat" (H.R. Ahmad dari Abu Ayub). Kalau kita tahu, mulut dan hidung kita ini merupakan sarang bakteri berbahaya. Bila kita tidak rajin membersihkannya bisa menimbulkan berbagai macam penyakit.
Bakteri-bakteri tersebut semakin subur oleh bekas-bekas makanan yang ada di sela-sela gigi yang tidak kita bersihkan. Penelitian pernah membuktikan bahwa 90% dari mereka yang menderita kerusakan gigi, adalah karena keteledoran dalam melakukan kebersihan mulut. Penyakit yang ditimbulkan oleh bakteri yang ada di mulut kita tidak hanya mengancam gigi dan gusi, tetapi juga mengancam sistem pencernaan kita, ini karena air liur yang kita telan berasal dari mulut. Ada beberapa penyakit yang dapat disebabkan kurang diperhatikannya kesehatan gigi dan mulut dan efeknya adalah timbul penyakit pada organ lain, misalnya sinusitis causa kerusakan gigi (geraham atas).
Akhirnya, marilah kita senantiasa menjaga kebersihan dan kesehatan badan kita dengan rajin berwudlu dengan air yang suci dan bersih, dan dengan tata cara yang benar. Berwudlu tidak hanya beribadah, namun juga menjaga kesehatan kita. Rasulullah s.a.w. bersabda :"Muka dan tangan kalian nanti di hari kiamat berkilauan bekas dari berwudlu" (H.R. Muslim).
Ditulis oleh Dewan Asatidz
http://www.pesantrenvirtual.com/index.php?option=com_content&view=article&id=49:wudlu-itu-sehat&catid=2:islam-kontemporer&Itemid=57