SYUKUR

Kata "syukur" adalah kata yang berasal dari bahasa Arab. Kata

ini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai: (1)

rasa terima kasih kepada Allah, dan (2) untunglah (menyatakan

lega, senang, dan sebagainya).

 

Pengertian kebahasaan ini tidak sepenuhnya sama dengan

pengertiannya menurut asal kata itu (etimologi) maupun menurut

penggunaan Al-Quran atau istilah keagamaan.

 

Dalam Al-Quran kata "syukur" dengan berbagai bentuknya

ditemukan sebanyak enam puluh empat kali. Ahmad Ibnu Faris

dalam bukunya Maqayis Al-Lughah menyebutkan empat arti dasar

dari kata tersebut yaitu,

 

a. Pujian karena adanya kebaikan yang diperoleh.

Hakikatnya adalah merasa ridha atau puas dengan sedikit

sekalipun, karena itu bahasa menggunakan kata ini

(syukur) untuk kuda yang gemuk namun hanya membutuhkan

sedikit rumput. Peribahasa juga memperkenalkan ungkapan

Asykar min barwaqah (Lebih bersyukur dari tumbuhan

barwaqah). Barwaqah adalah sejenis tumbuhan yang tumbuh

subur, walau dengan awan mendung tanpa hujan.

 

b. Kepenuhan dan kelebatan. Pohon yang tumbuh subur

dilukiskan dengan kalimat syakarat asy-syajarat.

 

c. Sesuatu yang tumbuh di tangkai pohon (parasit).

 

d. Pernikahan, atau alat kelamin.

 

Agaknya kedua makna terakhir ini dapat dikembalikan dasar

pengertiannya kepada kedua makna terdahulu. Makna ketiga

sejalan dengan makna pertama yang mengambarkan kepuasan dengan

yang sedikit sekalipun, sedang makna keempat dengan makna

kedua, karena dengan pernikahan (alat kelamin) dapat

melahirkan banyak anak.

 

Makna-makna dasar tersebut dapat juga diartikan sebagai

penyebab dan dampaknya, sehingga kata "syukur" mengisyaratkan

"Siapa yang merasa puas dengan yang sedikit, maka ia akan

memperoleh banyak, lebat, dan subur."

 

Ar-Raghib Al-Isfahani salah seorang yang dikenal sebagai pakar

bahasa Al-Quran menulis dalam Al-Mufradat fi Gharib Al-Quran,

bahwa kata "syukur" mengandung arti "gambaran dalam benak

tentang nikmat dan menampakkannya ke permukaan." Kata ini

--tulis Ar-Raghib-- menurut sementara ulama berasal dari kata

"syakara" yang berarti "membuka", sehingga ia merupakan lawan

dari kata "kafara" (kufur) yang berarti menutup --(salah satu

artinya adalah) melupakan nikmat dan menutup-nutupinya.

 

Makna yang dikemukakan pakar di atas dapat diperkuat dengan

beberapa ayat Al-Quran yang memperhadapkan kata syukur dengan

kata kufur, antara lain dalam QS lbrahim (14): 7:

 

Jika kamu bersyukur pasti akan Kutambah (nikmat-Ku)

untukmu, dan bila kamu kufur, maka sesungguhnya siksa-Ku

amat pedih.

 

Demikian juga dengan redaksi pengakuan Nabi Sulaiman yang

diabadikan Al-Quran:

 

Ini adalah sebagian anugerah Tuhan-Ku, untuk mengujiku

apakah aku bersyukur atau kufur (QS An-Naml [27]: 40).

 

Hakikat syukur adalah "menampakkan nikmat," dan hakikat

kekufuran adalah menyembunyikannya. Menampakkan nikmat antara

lain berarti menggunakannya pada tempat dan sesuai dengan yang

dikehendaki oleh pemberinya, juga menyebut-nyebut nikmat dan

pemberinya dengan lidah:

 

Adapun terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah engkau

menyebut-nyebut (QS Adh-Dhuha [93]: ll).

 

Nabi Muhammad Saw. pun bersabda,

 

Allah senang melihat bekas (bukti) nikmat-Nya dalam

penampilan hamba-Nya (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi).

 

Sementara ulama ketika menafsirkan firman Allah, "Bersyukurlah

kepada-Ku dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku" (QS

Al-Baqarah [2]: 152), menjelaskan bahwa ayat ini mengandung

perintah untuk mengingat Tuhan tanpa melupakannya, patuh

kepada-Nya tanpa menodainya dengan kedurhakaan. Syukur orang

demikian lahir dari keikhlasan kepada-Nya, dan karena itu,

ketika setan menyatakan bahwa, "Demi kemuliaan-Mu, Aku akan

menyesatkan mereka manusia) semuanya" (QS Shad [38]: 82),

dilanjutkan dengan pernyataan pengecualian, yaitu, "kecuali

hamba-hamba-Mu yang mukhlash di antara mereka" (QS Shad [38]:

83). Dalam QS Al-A'raf (7): 17 Iblis menyatakan, "Dan Engkau

tidak akan menemukan kebanyakan dari mereka {manusia)

bersyukur." Kalimat "tidak akan menemukan" di sini serupa

maknanya dengan pengecualian di atas, sehingga itu berarti

bahwa orang-orang yang bersyukur adalah orang-orang yang

mukhlish (tulus hatinya).

 

Dengan demikian syukur mencakup tiga sisi:

 

a. Syukur dengan hati, yaitu kepuasan batin atas

anugerah.

 

b. Syukur dengan lidah, dengan mengakui anugerah dan

memuji pemberinya.

 

c. Syukur dengan perbuatan, dengan memanfaatkan anugerah

yang diperoleh sesuai dengan tujuan penganugerahannya.

 

Uraian Al-Quran tentang syukur mencakup sekian banyak aspek.

Berikut akan dikemukakan sebagian di antaranya.

 

SIAPA YANG HARUS DISYUKURI

 

Pada prinsipnya segala bentuk kesyukuran harus ditujukan

kepada Allah Swt. Al-Quran memerintahkan umat Islam untuk

bersyukur setelah menyebut beberapa nikmat-Nya,

 

Maka ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula

kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu

mengingkari (nikmat)-Ku (QS Al-Baqarah [2]: 152).

 

Dalam QS Luqman (31): 12 dinyatakan:

 

Dan sesungguhnya Kami telah menganugerahkan kepada

Luqman hikmah, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah. Dan

barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka

sesungguhnya ia bersyukur untuk (manfaat) dirinya

sendiri."

 

Namun demikian, walaupun kesyukuran harus ditujukan kepada

Allah, dan ucapan syukur yang diajarkan adalah "alhamdulillah"

dalam arti "segala puji (hanya) tertuju kepada Allah," namun

ini bukan berarti bahwa kita dilarang bersyukur kepada mereka

yang menjadi perantara kehadiran nikmat Allah. Al-Quran secara

tegas memerintahkan agar mensyukuri Allah dan mensyukuri kedua

orang tua (yang menjadi perantara kehadiran kita di pentas

dunia ini.) Surat Luqman (31): 14 menjelaskan hal ini, yaitu

dengan firman-Nya:

 

Bersyukurlah kepada-Ku, dan kepada dua orang ibu

bapakmu; hanya kepada-Kulah kembalimu.

 

Walaupun Al-Quran hanya menyebut kedua orangtua --selain

Allah-- yang harus disyukuri, namun ini bukan berarti bahwa

selain mereka tidak boleh disyukuri.

 

Siapa yang tidak mensyukuri manusia, maka dia tidak

mensyukuri Allah (Begitu bunyi suatu rtwayat yang

disandarkan kepada Rasul Saw).

 

MANFAAT SYUKUR BUKAN UNTUK TUHAN

 

Al-Quran secara tegas menyatakan bahwa manfaat syukur kembali

kepada orang yang bersyukur, sedang Allah Swt. sama sekali

tidak memperoleh bahkan tidak membutuhkan sedikit pun dari

syukur makhluk-Nya.

 

Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia

bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan

barangsiapa yang kufur (tidak bersyukur), maka

sesungguhnya Tuhanku Mahakaya (tidak membutuhkan

sesuatu) lagi Mahamulia (QS An-Naml [27]: 40)

 

Karena itu pula, manusia yang meneladani Tuhan dalam

sifat-sifat-Nya,