Takdir

Sebelum membicarakan wawasan Al-Quran tentang kematian, terlebih dahulu perludigarisbawahi bahwa kematian dalam pandangan Al-Quran tidak hanya terjadi sekali,tetapi dua kali. Surat Ghafir ayat 11 mengabadikan sekaligus membenarkan ucapan orang-orang kafir di hari kemudian:

"Mereka berkata, 'Wahai Tuhan kami, Engkau telah

mematikan kami dua kali dan telah menghidupkan

kami dua kali (pula), lalu kami menyadari

dosa-dosa kami maka adakah jalan bagi kami untuk

keluar (dari siksa neraka)?"

Kematian oleh sementara ulama didefinisikan sebagai "ketiadaan hidup," atau "antonimdari hidup." Kematian pertama dialami oleh manusia sebelum kelahirannya, atau saat sebelum Allah menghembuskan ruh kehidupan kepadanya; sedang kematian kedua, saat ia meninggalkan dunia yang fana ini.

Kehidupan pertama dialami oleh manusia pada saat manusia menarik dan menghembuskan nafas di dunia, sedang kehidupan kedua saat ia berada di alam barzakh, atau kelak ketika ia hidup kekal di hari akhirat.

Al-Quran berbicara tentang kematian dalam banyak ayat, sementara pakar memperkirakan tidak kurang dari tiga ratusan ayat yang berbicara tentang berbagaiaspek kematian dan kehidupan sesudah kematian kedua.

KESAN UMUM TENTANG KEMATIAN

Secara umum dapat dikatakan bahwa pembicaraan tentang kematian bukan sesuatuyang menyenangkan. Namun manusia bahkan ingin hidup seribu tahun lagi. Ini, tentu saja bukan hanya ucapan Chairil Anwar, tetapi Al-Quran pun melukiskan keinginansekelompok manusia untuk hidup selama itu (baca surat Al-Baqarah [2]: 96). Iblis berhasil merayu Adam dan Hawa melalui "pintu" keinginan untuk hidup kekal selama-lamanya.

"Maukah engkau kutunjukkan pohon kekekalan (hidup)

dan kekuasaan yang tidak akan lapuk? (QS Thaha

[20]: 120).

 

DEMIKIAN IBLIS MERAYU ADAM.

Banyak faktor yang membuat seseorang enggan mati. Ada orang yang enggan matikarena ia tidak mengetahui apa yang akan dihadapinya setelah kematian; mungkin jugakarena menduga bahwa yang dimiliki sekarang lebih baik dari yang akan didapati nanti. Atau mungkin juga karena membayangkan betapa sulit dan pedih pengalaman mati dansesudah mati. Atau mungkin karena khawatir memikirkan dan prihatin terhadap keluarga yang ditinggalkan, atau karena tidak mengetahui makna hidup dan mati, dan lain sebagainya, sehingga semuanya merasa cemas dan takut menghadapi kematian.

Dari sini lahir pandangan-pandangan optimistis dan pesimistis terhadap kematian dankehidupan, bahkan dari kalangan para pemikir sekalipun.

Manusia, melalui nalar dan pengalamannya tidak mampu mengetahui hakikat kematian,karena itu kematian dinilai sebagai salah satu gaib nisbi yang paling besar. Walaupun pada hakikatnya kematian merupakan sesuatu yang tidak diketahui, namun setiapmenyaksikan bagaimana kematian merenggut nyawa yang hidup manusia semakinterdorong untuk mengetahui hakikatnya atau, paling tidak, ketika itu akan terlintas dalam benaknya, bahwa suatu ketika ia pun pasti mengalami nasib yang sama.

Manusia menyaksikan bagaimana kematian tidak memilih usia atau tempat, tidak pulamenangguhkan kehadirannya sampai terpenuhi semua keinginan. Di kalangan sementara orang,

kematian menimbulkan kecemasan, apalagi bagi mereka yang memandang bahwa hidup hanya sekali yakni di dunia ini saja. Sehingga tidak sedikit yang pada akhirnya menilaikehidupan ini sebagai siksaan, dan untuk menghindar dari siksaan itu, mereka menganjurkan agar melupakan kematian dan menghindari sedapat mungkin segala kecemasan yang ditimbulkannya dengan jalan melakukan apa saja secara bebas tanpakendali, demi mewujudkan eksistensi manusia. Bukankah kematian akhir dari

segala sesuatu? Kilah mereka.

Sebenarnya akal dan perasaan manusia pada umumnya enggan menjadikan kehidupanatau eksistensi mereka terbatas pada puluhan tahun saja. Walaupun manusia menyadari bahwa mereka

harus mati, namun pada umumnya menilai kematian buat manusia bukan berarti kepunahan. Keengganan manusia menilai kematian sebagai kepunahan tercermin antara lain melalui penciptaan

berbagai cara untuk menunjukkan eksistensinya. Misalnya, dengan menyediakankuburan, atau tempat-tenapat tersebut dikunjunginya dari saat ke saat sebagaimanifestasi dari keyakinannya bahwa yang telah meninggalkan dunia itu tetap masih hidup walaupun jasad mereka telah tiada.

Hubungan antara yang hidup dan yang telah meninggal amat berakar pada jiwa manusia. Ini tercermin sejak dahulu kala, bahkan jauh sebelum kehadiran agama-agama besar dianut oleh umat manusia dewasa ini. Sedemikian berakar hal tersebut sehingga orang-orang Mesir Kuno misalnya, meyakini benar keabadian manusia, sehingga mereka menciptakan teknik-teknik yang dapat mengawetkan mayat-mayat merekaratusan bahkan ribuan tahun lamanya.

Konon Socrates pernah berkata, sebagaimana dikutip oleh Asy-Syahrastani dalam bukunya Al-Milal wa An-Nihal (I:297),

"Ketika aku menemukan kehidupan (duniawi)

kutemukan bahwa akhir kehidupan adalah kematian,

namun ketika aku menemukan kematian, aku pun

menemukan kehidupan abadi. Karena itu, kita harus

prihatin dengan kehidupan (duniawi) dan bergembira

dengan kematian. Kita hidup untuk mati dan mati

untuk hidup."

Demikian gagasan keabadian hidup manusia hadir bersama manusia sepanjang sejarahkemanusiaan. Kalau keyakinan orang-orang Mesir Kuno mengantar mereka untukmenciptakan teknik pengawetan jenazah dan pembangunan piramid, maka dalam pandangan pemikir-pemikir modern, keabadian manusia dibuktikan oleh karya-karya besar mereka.

Abdul Karim Al-Khatib dalam bukunya Qadhiyat Al-Uluhiyah

(I:214) mengutip tulisan Goethe (1749-1833 M) yang

menyatakan:

"Sesungguhnya usaha sungguh-sungguh yang lahir

dari lubuk jiwa saya, itulah yang merupakan bukti

yang amat jelas tentang keabadian. Jika saya telah

mencurahkan seluruh hidup saya untuk berkarya,

maka adalah merupakan hak saya atas alam ini untuk

menganugerahi saya wujud baru, setelah kekuatan

saya terkuras dan jasad ini tidak lagi memikul

beban jiwa."

 

Demikian filosof Jerman itu menjadikan kehidupan duniawi ini sebagai arena untukbekerja keras, dan kematian merupakan pintu gerbang menuju kehidupan baru gunamerasakan ketenangan dan keterbebasan dari segala macam beban.

PANDANGAN AGAMA TENTANG MAKNA KEMATIAN

Agama, khususnya agama-agama samawi, mengajarkan bahwa ada kehidupan sesudah kematian. Kematian adalah awal dari satu perjalanan panjang dalam evolusi manusia, dimana selanjutnya ia akan memperoleh kehidupan dengan segala macam kenikmatan atau berbagai ragam siksa dan kenistaan.

Kematian dalam agama-agama samawi mempunyai peranan yang sangat besar dalammemantapkan akidah serta menumbuhkembangkan semangat pengabdian. Tanpakematian,

manusia tidak akan berpikir tentang apa sesudah mati, dan tidak akan mempersiapkandiri menghadapinya. Karena itu, agama-agama menganjurkan manusia untuk berpikirtentang kematian. Rasul Muhammad Saw., misalnya bersabda, "Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan duniawi

(kematian)."

Dapat dikatakan bahwa inti ajakan para Nabi dan Rasul setelah kewajiban percayakepada Tuhan, adalah kewajiban percaya akan adanya hidup setelah kematian.

Dari Al-Quran ditemukan bahwa kehidupan yang dijelaskannya bermacam-macam danbertingkat-tingkat. Ada kehidupan tumbuhan, binatang, manusia, jin, dan malaikat, sampai ke tingkat tertinggi yaitu kehidupan Yang Mahahidup dan Pemberi Kehidupan. Di sisi lain, berulang kali ditekankannya

bahwa ada kehidupan di dunia dan ada pula kehidupan di akhirat. Yang pertamadinamai Al-Quran al-hayat ad-dunya (kehidupan yang rendah), sedangkan yang keduadinamainva

al-hayawan (kehidupan yang sempurna).

"Sesungguhnya negeri akhirat itu adalah al-hayawan

(kehidupan yang sempurna" (QS Al-'Ankabut [29]:

64).

 

Dijelaskan pula bahwa,

 

"Kesenangan di dunia ini hanya sebentar, sedang

akhirat lebih baik bagi orang-orang bertakwa, dan

kamu sekalian (yang bertakwa dan yang tidak) tidak

akan dianiaya sedikitpun (QS Al-Nisa' 14]: 77)

 

Di lain ayat dinyatakan,

 

"Hai orang-orang yang beriman, mengapa jika

dikatakan kepada kamu berangkatlah untuk berjuang

di jalan Allah, kamu merasa berat dan ingin

tinggal tetap di tempatmu? Apakah kamu puas dengan

kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di

akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini

dibanding dengan akhirat (nilai kehidupan duniawi

dibandingkan dengan nilai kehidupan) di akhirat

hanyalah sedikit (QS At-Tawbah [9]: 38).

 

Betapa kehidupan ukhrawi itu tidak sempurna, sedang di

sanalah diperoleh keadilan sejati yang menjadi dambaan

setiap manusia, dan di sanalah diperoleh kenikmatan hidup

yang tiada taranya.

 

Satu-satunya jalan untuk mendapatkan kenikmatan dan

kesempurnaan itu, adalah kematian, karena menurut Raghib

Al-Isfahani:

 

"Kematian, yang dikenal sebagai berpisahnya ruh

dari badan, merupakan sebab yang mengantar manusia

menuju kenikmatan abadi. Kematian adalah

perpindahan dari satu negeri ke negeri yang lain,

sebagaimana dirtwayatkan bahwa, "Sesungguhnya

kalian diciptakan untuk hidup abadi, tetapi kalian

harus berpindah dan satu negen ke negen (yang

lain) sehingga kalian menetap di satu tempat."

(Abdul Karim AL-Khatib, I:217)

 

Kematian walaupun kelihatannya adalah kepunahan, tetapi pada

hakikatnya adalah kelahiran yang kedua. Kematian manusia

dapat diibaratkan dengan menetasnya telur-telur. Anak ayam

yang terkurung dalam telur, tidak dapat mencapai

kesempurnaan evolusinya kecuali apabila ia menetas. Demikian

juga manusia, mereka tidak akan mencapai kesempurnaannya

kecuali apabila meninggalkan dunia ini (mati).

 

Ada beberapa istilah yang digunakan Al-Quran untuk menunjuk

kepada kematian, antara lain al-wafat (wafat), imsak

(menahan).

 

Dalam surat Al-Zumar (39): 42 dinyatakan bahwasanya,

 

"Allah mewafatkan jiwa pada saat kematiannya, dan

jiwa orang yang belum mati dalam tidurnya, maka

Allah yumsik (menahan) jiwa yang ditetapkan

baginya kematian, dan melepaskan yang lain (orang

yang tidur) sampai pada batas waktu tertentu."

 

Ar-Raghib menjadikan istilah-istilah tersebut sebagai salah

satu isyarat betapa Al-Quran menilai kematian sebagai jalan

menuju perpindahan ke sebuah tempat, dan keadaan yang lebih

mulia dan baik dibanding dengan kehidupan dunia. Bukankah

kematian adalah wafat yang berarti kesempurnaan serta imsak

yang berarti menahan (di sisi-Nya)?

 

Memang, Al-Quran juga menyifati kematian sebagai musibah

malapetaka (baca surat Al-Ma-idah [5]: 106), tetapi agaknya