Ketika ada larangan mengajarkan calistung pada anak TK, anak kami justru sudah gemar membaca sejak TK. Bagaimana cara menstimulasi anak agar gemar membaca?
Ada orang tua yang curhat di sebuah blog mengenai anaknya yang suka berhitung dan mengerjakan PR. Ia merasa dilematis karena pernah membaca tulisan yang melarang pengajaran calistung pada anak usia dini. Dilema pengajaran calistung pernah kami alami pula sebagai orang tua. Anak kami sudah bisa membaca pada usia 5 tahun, gemar membaca sejak usia 6 tahun. Bahkan pada usia 7 tahun, Damai sudah membacaLife of Pi. Saya yakin dilema ini juga dirasakan oleh banyak orang tua yang lain. Apa yang harus dilakukan orang tua? Dalam tulisan sebelumnya telah dijelaskan, tidak boleh memaksa anak belajar calistung, tapi orang tua boleh menstimulasi anak untuk mengenal dan menyukai calistung.
Berdasarkan pengalaman kami, menstimulasi anak agar gemar membaca bukanlah sulapan, prosesnya panjang dan bertahun-setahun sebelum Damai kemudian gemar membaca. Saya coba menyusun “anjuran” dan “larangan” bagi orang tua dalam menstimulasi anak untuk gemar membaca. Anjuran dan larangan ini dapat dimodifikasi untuk aspek calistung yang lain.
Anjuran
- Sering-seringlah bercerita. Orang tua sering bercerita baik tentang cerita anak, pengalaman kerja maupun pengetahuan umum. Tidak harus bersuara merdu, ceritakan saja secara ekspresif dan seasyik mungkin. Ketika ditanya anak mengapa orang tua tahu banyak hal, orang tua bisa menjawab “karena kami membaca buku”.
- Hiasi rumah dengan buku. Sediakan satu rak khusus berisi buku, buku apa saja seperti buku memasak, buku berkebun, yang penting jumlahnya cukup banyak, setidaknya minimal 80 buah buku.
- Tunjukkan asyiknya membaca. Orang tua bisa membaca buku apa saja di rumah agar bisa dilihat anak. Bahkan kalau malas membaca, membaca buku resep masakan atau buku berkebun pun tidak mengapa. Ketika membaca, jangan pasang wajah masam, tunjukkan wajah yang mengekspresikan asyiknya membaca.
- Ceritakan hasil membaca kita. Bila kita membaca buku yang isinya bisa diceritakan pada anak, ceritakan dengan gaya seasyik mungkin.
- Ajak anak ke perpustakaan atau toko buku. Meski anak belum bisa membaca, tidak ada salahnya orang tua mengajak anak ke perpustakaan atau toko buku. Pesannya sederhana, gemar membaca itu ada banyak temannya.
- Ajarkan anak membaca secara bertahap dan sesuai kemampuan. Awalnya, perkenalkan tulisan dari kata-kata yang dikenalnya. Kemudian baru perkenalkan dengan huruf melalui lagu, setelah itu kenalkan dengan kalimat sederhana. Tidak ada standar umur, kenalkan, bila anak berminat, lanjutkan. Bila anak tidak berminat, hentikan.
- Pilih dan sediakan buku yang disukai anak. Meski anak belum lancar membaca, orang tua bisa membelikan buku buat anak. Sesuaikan buku dengan usia dan minat anak. Biasanya buku untuk anak usia dini isinya lebih banyak gambarnya, sementara tulisannya hanya beberapa kata atau satu kalimat. Anak-anak sebagaimana orang dewasa lebih suka buku cerita daripada buku pengetahuan atau pelajaran yang membosankan ^.^
- Dampingi anak membaca. Sediakan waktu untuk mendampingi anak membaca. Bacakan perlahan agar anak bisa menyelaraskan antara yang dilihat dengan yang didengarnya. Bila perlu, sesekali lakukan kesalahan membaca yang dapat dikenali anak sebagai kesalahan, agar anak protes dan mengoreksinya.
- Beri kesempatan anak membaca. Bila anak sudah bisa membaca, beri kesempatan. Ketika anak membaca buku, jangan diberi perintah untuk melakukan hal yang lain. Hargai anak. Bila memang penting, orang tua bisa memberi waktu 5 menit sebelum anak berhenti membaca dan melakukan aktivitas lain.
- Beri pujian ketika dan setelah anak membaca. Jangan lupa beri pujian pada anak selama maupun setelah selesai membaca. Pujian memberitahu anak bahwa aktivitas membacanya dihargai orang tua.
- Minta anak bercerita. Pada anak usia dini, membaca bisa berarti membaca teks maupun membaca gambar. Biarkan. Minta anak menceritakan apa yang telah dibacanya. Ajukan pertanyaan pada anak agar anak mengingat bacaannya atau bahkan merasa perlu membaca ulang.
- Melarang anak membaca. Jangan salah paham! Gemar membaca memang bagus buat anak. Tapi percayalah, membaca secara berlebihan tetap tidak baik buat anak. Ada masanya, kami melarang anak membaca buku lebih dari satu buah setiap harinya. Biarkan anak merasa butuh membaca, kebutuhan membaca adalah miliknya, bukan milik orang tuanya.
Larangan
- Mengajarkan anak membaca demi kebanggaan orang tua. Kemampuan anak bukan demi sepotong kebanggaan orang tua. Fokus pada minat, kebutuhan dan kemampuan anak. Sekali mengajarkan membaca demi kebanggaan orang tua, maka akan dilanggar larangan-larangan yang lainnya.
- Memaksa anak belajar membaca. Lebih baik tumbuhkan minatnya, dengan menggunakan Anjuran poin 1 – 5. Bila anak memang tidak berminat, berarti anak memang belum siap belajar membaca.
- Memberi target pada anak. Jangan memberi target membaca pada anak. Misal, satu hari satu jam membaca. Target lebih banyak berperan membunuh minat anak membaca daripada menumbuhkannya.
- Memaksa anak membaca yang tidak disukai. Problem utama dengan pelembagaan pelajaran membaca adalah bahan bacaan yang standar, yang seringkali tidak disukai anak. Dengan memaksa anak membaca bahan bacaan yang tidak disukai, kita sebenarnya sedang mengajarkan anak untuk benci membaca.
- Membandingkan kemampuan anak dengan anak yang lain. Jangan pernah membandingkan. Upaya membandingkan hanya akan membuat anak membaca karena motivasi eksternal, bukan karena gemar membaca. Kemampuan calistung anak tidak sama, tidak bisa dibandingkan antar anak.
- Jangan ikutkan lomba calistung sebelum umur 7 tahun. Alasannya sama dengan poin sebelumnya, lomba adalah upaya untuk membandingkan antar anak.
Pada akhirnya, yakinlah setiap anak itu istimewa. Anak kami cepat membaca buku karena memang kecerdasan majemuknya adalah kecerdasan aksara, kemampuan mengolah informasi dalam bentuk bahasa. Anak kami lebih lambat belajar hal-hal lain yang bukan kecerdasan majemuknya yang dominan. Bila memang anak tidak berminat membaca, bisa jadi anak mempunyai kecerdasan lain. Temukan dan kembangkan kecerdasan majemuk anak.
Menstimulasi Anak itu Bukan Memaksa, Bukan Membiarkan
Apa bedanya memaksa, membiarkan dan menstimulasi anak? Apa dampak ketiganya terhadap tumbuh kembang potensi anak?
Beberapa waktu belakangan, banyak pengguna media sosial membagikan tautan tulisan mengenai “Mengapa Anak TK Tak Boleh Diajari Calistung”. Inti dari tulisan itu, jangan memaksa anak TK belajar calistung. Ada banyak komentar dengan berbagai macam variasinya terhadap tulisan tersebut di media sosial. Tapi seperti halnya larangan yang lain, seperti jangan mengikutkan anak les dan yang lainnya, larangan mengajarkan calistung pada anak TK pun membuahkan respon yang reaksioner. Karena larangan tidak pernah menunjukkan perilaku yang harus dilakukan orang tua. Dengan hanya menunjukkan perilaku yang dilarang, seolah perilaku lain kemudian jadi benar.
Larangan mengajarkan calistung pada anak TK kemudian dimaknai beberapa orang tua untuk membiarkan anak. “Saya tidak ingin membebani anak, biarkan saja ia bebas bermain”, ungkap salah seorang orang tua. Tidak boleh memaksa anak TK calistung, bukan berarti membiarkan anak beraktivitas sesukanya. Tidak boleh memaksa anak TK buat ikut les, bukan berarti membolehkan anak beraktivitas semaunya.
Memaksa dan membiarkan adalah dua kutub yang berlawanan tapi keduanya sama, berdampak negatif ke tumbuh kembang anak. Ibarat berkebun, memaksa berarti kita menanam tanaman sekehendak hati kita. Kita tidak peduli pada sifat tanaman yang mau ditanam. Meski kaktus lebih suka tempat kering, kita tetap ngotot menanamnya di tempat yang banyak airnya. Sebaliknya dengan membiarkan, kita sebarkan biji pada sebidang tanah, mau tumbuh subur, mau kering kerontang, biarkan saja.
Lalu apa yang perlu dilakukan orang tua? Menstimulasi anak. Berbeda dengan membiarkan, menstimulasi anak berarti memberi perhatian pada anak. Berbeda dengan memaksa anak, menstimulasi anak berarti memancing rasa ingin tahu dan keinginan anak untuk mencoba suatu aktivitas. “Membiarkan” melahirkan sikap semaunya. “Memaksa” membuat anak tak punya sikap, hanya mengikuti kemauan orang tua dan orang lainnya. “Menstimulasi” melahirkan kemauan dari dalam diri anak, menumbuhkan kemauan anak sebagai pondasi kemandirian anak di kemudian hari.
Apa bedanya mengajarkan calistung pada anak TK sebagai sebuah paksaan atau stimulasi? Mengajarkan calistung pada anak jadi sebuah paksaan ketika:
- Tidak sesuai kecerdasan majemuk anak. Hanya anak dengan kecerdasan aksara dan kecerdasan logika yang secara alami mudah dan butuh belajar calistung pada usia dini.
- Waktu belajar calistung jadi lebih banyak dibandingkan waktu untuk melakukan aktivitas 6 kecerdasan majemuk lainnya. Artinya kesempatan anak untuk mencoba aktivitas terkait beragam kecerdasan yang lain jadi terpinggirkan.
- Bertujuan agar anak mampu membaca, bukan gemar membaca. Tendensinya menanamkan kemampuan, bukan menumbuhkan kegemaran.
- Ada target yang harus dicapai anak dalam jangka waktu tertentu. Senang tidak senang, anak harus mencapai target tersebut.
- Ada konsekuensi dari pengajaran calistung. Konsekuensi bisa berupa hadiah, hukuman atau label-label tertentu pada anak.
Berdasar kelima alasan tersebut, TK memang tidak boleh mengajarkan calistung karena cenderung terjadi pemaksaan. Orang tua juga tidak boleh mengajarkan calistung pada anak sebagai sebuah aktivitas terstruktur seperti les membaca dan matematika. Tapi bukan berarti anak tidak boleh mengeksplorasi aktivitas calistung. Tapi bukan berarti orang tua tidak boleh menstimulasi anak untuk mengenal dan gemar calistung. Bagaimana cara menstimulasi anak yang efektif? Baca tulisan selanjutnya