Menyambut Ramadhan, bulan suci, bulan penuh kebaikan bukan hanya dengan suka cita. Persiapan fisik dianjurkan untuk dilakukan. Bentuknya adalah dengan banyak puasa sunnah di bulan Sya’ban sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perbanyak taubat pun mesti dilakukan agar ibadah kita dimudahkan di bulan suci Ramadhan. Bekal ilmu lebih-lebih harus kita siapkan agar ibadah kita di bulan Ramadhan tidak jadi sia-sia.
Ibnul Qayyim dalam Miftah Daris Sa’adah berkata, “Orang yang beribadah tanpa adanya ilmu bagai orang yang berjalan tanpa ada penuntun. Sudah dimaklumi bahwa orang yang demikian akan mendapatkan kesukaran dan sulit untuk selamat. Taruhlah ia bisa selamat, namun itu jarang. Menurut orang yang berakal, ia tetap saja tak terpuji bahkan pantas dapat celaan.”
Apa saja bekal ilmu menyambut Ramadhan yang dimaksud?
Ilmu yang harus kita miliki adalah ilmu yang bisa membuat ibadah puasa kita sah, tidak jadi sia-sia dan semakin membuat puasa kita sempurna serta penuh makna.
1- Ilmu tentang puasa
Puasa artinya menahan diri dari berbagai pembatal puasa mulai dari terbitnya fajar Shubuh hingga tenggelamnya matahari (waktu Maghrib).
Puasa ini diwajibkan bagi orang yang telah baligh (ditandai dengan mimpi basah atau datang haidh pada wanita), berakal (tidak gila), dalam keadaan sehat dan tidak sedang bersafar.
Bagi orang yang sakit dan musafir mendapatkan keringanan tidak berpuasa dan mesti mengganti di hari lainnya (menunaikan qadha’). Begitu pula untuk orang sepuh (tua renta) yang tidak kuat lagi untuk berpuasa dan orang yang sakit menaun tak kunjung sembuh mendapat keringanan tidak berpuasa. Sebagai gantinya adalah menunaikan fidyah, yaitu sehari tidak berpuasa berarti menunaikan fidyah berupa satu bungkus makanan yang diberikan pada orang miskin.
Wanita hamil dan menyusui pun mendapat keringanan tidak berpuasa jika mereka merasa berat atau khawatir pada keadaan diri atau bayinya. Sebagai gantinya, wanita hamil dan menyusui tersebut mesti menunaikan qadha’ di hari lain saat ia mampu. Karena keduanya lebih tepat dimisalkan dengan wanita hamil dan menyusui bukan dengan orang yang telah sepuh yang hanya menunaikan fidyah.
Adapun yang termasuk pembatal puasa adalah makan dan minum dengan sengaja, muntah dengan sengaja, datang haidh dan nifas, keluar mani saat bercumbu, dan berhubungan intim dengan sengaja.
Puasa tersebut dilakukan dengan berniat. Maksud niat adalah berkeinginan atau mengetahui dalam hati akan melakukan suatu ibadah, tanpa dilafazkan dengan ucapan niat tertentu. Niat itu pun harus ada setiap malamnya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang tidak berniat sebelum fajar (Shubuh), maka tidak ada puasa untuknya.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan An Nasai, shahih).
Puasa yang sempurna dilakukan akan menggapai derajat takwa sebagaimana Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah: 183).
2- Ilmu tentang amalan sunnah saat puasa
Di antara amalan sunnah yang bisa dilakukan adalah:
a- Makan sahur
Dalam hadits dari Anas disebutkan, “Makan sahurlah kalian karena dalam sahur itu terdapat keberkahan.” (Muttafaqun ‘alaih). Waktu sahur disunnahkan untuk diakhirkan karena jarak makan sahur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan waktu pengerjaan Shalat Shubuh adalah sekitar membaca 50 ayat Al Qur’an (berarti: 10-15 menit) sebagaimana diterangkan dalam hadits yang muttafaq ‘alaih. Dari hadits ini, Abu Jamroh mengatakan bahwa makan sahur itu (disunnahkan) diakhirkan waktunya.
b- Berbuka puasa
Jika azan Maghrib telah berkumandang, maka diperintahkan untuk segera berbuka. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manusia akan senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka.” (Muttafaqun ‘alaih). Disunnahkan berbuka ketika itu dengan kurma. Jika tidak ada bisa diganti dengan makanan yang manis-manis karena akan mengembalikan kekuatan orang yang telah berpuasa.
Saat kita mulai menyantap makanan berbuka, tetap mengucapkan ‘bismillah’ sebagaimana adab yang diajarkan dalam Islam saat makan. Setelah itu mengucapkan doa saat berbuka puasa, “Dzahabazh zhoma-u wabtalatil ‘uruuqu wa tsabatal ajru insya Allah” (artinya: dahaga telah hilang dan urat-urat leher telah basah dan pahala telah ditetapkan insya Allah). (HR. Abu Daud, hasan)
c- Memberi makan berbuka puasa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa, tanpa mengurangi pahala orang yang berpausa itu sedikit pun juga.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad, shahih).
d- Lebih banyak bersedekah dan beribadah di bulan Ramadhan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk yang begitu giat melakukan amalan kebaikan, juga berderma di bulan Ramadhan dibandingkan waktu lainnya.
Guru-guru dari Abu Bakr bin Maryam rahimahumullah pernah mengatakan, “Jika tiba bulan Ramadhan, bersemangatlah untuk bersedekah. Karena bersedekah di bulan tersebut lebih berlipat pahalanya seperti seseorang sedekah di jalan Allah (fii sabilillah). Pahala bacaaan tasbih (berdzikir “subhanallah”) lebih afdhol dari seribu bacaan tasbih di bulan lainnya.” (Lihat Lathoif Al Ma’arif, hal. 270).
Juga yang dituntut pada bulan Ramadhan adalah untuk memperbanyak tilawah dan mengkaji Al Qur’an. Karena bulan Ramadhan disebutkan, “Bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran” (QS. Al Baqarah: 185).
e- Menggapai lailatul qadar, malam yang amalan di dalamnya lebih baik daripada seribu bulan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan, “Carilah lailatul qadar pada malam ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari). Untuk mudah meraihnya adalah dengan melakukan i’tikaf pada sepuluh hari terakhir di masjid, yaitu berdiam walau beberapa waktu di masjid dalam rangka ibadah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamsendiri biasa melakukan i’tikaf selama sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan.
3- Ilmu tentang shalat tarawih
Shalat tarawih disunnahkan dilakukan secara berjama’ah baik bagi laki-laki dan perempuan. Keutamaannya di antaranya disebutkan dalam hadits Abu Hurairah, “Siapa saja yang melakukan qiyam Ramadhan (shalat tarawih) atas dasar iman dan mengharap padahal dari Allah, maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (Muttafaqun ‘alaih).
Shalat tarawih yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamadalah 11 raka’at. Namun menurut mayoritas ulama, shalat tarawih tidak dibatasi jumlah raka’atnya. Shalat tarawih boleh dikerjakan dengan raka’at yang sedikit maupun banyak. Karena saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya mengenai shalat malam, beliau tidak memberikan batasan. Yang beliau katakan, “Shalat malam itu dua raka’at salam, dua raka’at salam.” (Muttafaqun ‘alaih). Alasan lainnya, Umar bin Khattab pernah memerintahkan Ubay bin Ka’ab untuk melaksanakan shalat tarawih sebanyak 20 raka’at. Intinya, shalat tarawih boleh dilakukan dengan 11 atau 23 raka’at asalkan shalat tersebut memiliki thuma’ninah, artinya tidak ngebut atau tidak dengan kecepatan tinggi. Thuma’ninah itu adalah bagian rukun shalat, yang jika tidak ada berarti shalat tidaklah sah.
4- Ilmu tentang zakat fithri
Zakat fithri adalah zakat yang dikeluarkan menjelang Idul Fithri, paling cepat dua atau tiga hari sebelum Idul Fithri, bukan dibayar di awal atau pertengahan bulan. Zakat fithri yang dikeluarkan bentuknya adalah beras yang merupakan makanan pokok (bukan uang) dengan ukuran satu sho’ (kisaran 2,1 – 3,0 kg). Zakat fithri ini disalurkan pada fakir miskin dengan tujuan untuk membahagiakan mereka pada hari raya dengan makanan dan untuk menyucikan orang yang berpuasa. Waktu akhir penunaian zakat fithri adalah sebelum shalat ‘ied dilaksanakan.
Demikian sajian dari Muslim.Or.Id. Bahasan selengkapnya bisa dikaji dariBuku Panduan Ramadhan karya penulis terbitan Pustaka Muslim, cetakan keenam (2014) yang dibagikan secara gratis ke tengah-tengah kaum muslimin.
Beberapa tahun belakangan di negeri kita ini seringkali terjadi perbedaan dalam penentuan awal puasa ataupun penentuan hari raya. Sebagian kaum muslimin berpatokan dengan hilal yang dilihat negara lain terutama Saudi Arabia yang jadi kiblat umat Islam di seluruh dunia. Jika Saudi sudah melihat hilal, walaupun di negerinya sendiri belum melihatnya, mereka menganggap hari tersebut sudah mulai berpuasa atau berhari raya disebabkan karena berpatokan pada hilal tersebut. Sehingga karena sebab ini, sebagian orang berpuasa sendiri-sendiri, tidak berbarengan dengan umat Islam lainnya. Bagaimanakah menyikapi masalah ini? Berikut kami bawakan fatwa dari Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi.
Pertanyaan Kedua dari Fatwa no. 3686 (10/103-104)
Apakah dibolehkan bagi penduduk Afrika berpuasa mengikuti ru’yah hilal dari penduduk Mekah?
Jawaban:
Masalah ini telah dibahas oleh Hay’ah Kibaril ‘Ulama (Perkumpulan Ulama-ulama Besar) di Kerajaan Saudi Arabia yang hasil putusannya sebagai berikut :
[Pertama] Perbedaan matholi’ hilal (region hilal atau daerah terbitnya hilal) telah diketahui dengan pasti secara inderawi dan logika. Para ulama tidaklah berselisih mengenai hal ini. Khilaf (perbedaan) pendapat yang ada di kalangan ulama adalah pada masalah apakah hilal di tempat lain jadi patokan untuk negeri lain ataukah tidak.
[Kedua] Masalah apakah hilal di tempat lain jadi patokan ataukah tidak merupakan masalah ijtihadiyah yang masih ada kelonggaran dalam berpendapat. Perbedaan dalam masalah ini terjadi pada orang yang berkompeten dalam masalah ilmu dan agama. Dan perbedaan dalam masalah ini adalah perbedaan yang dibolehkan. Bagi orang yang benar dalam berijtihad maka baginya dua ganjaran yaitu ganjaran karena telah berijtihad dan ganjaran karena kebenaran yang ada padanya. Orang yang tidak tepat dalam berijtihad juga mendapat satu ganjaran karena ijtihad (kesungguhan) yang telah dia lakukan.
Para ulama telah berselisih dalam masalah ini menjadi dua pendapat. Pendapat pertama menganggap bahwa meskipun berbeda matholi’(region hilal) tetap bisa jadi patokan. Pendapat yang lain menganggap tidak demikian. Setiap kubu yang berpendapat demikian masing-masing memiliki dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Terkadang pula kedua kubu yang ada memiliki dalil yang sama. Seperti mereka sama-sama berdalil dengan firman Allah ta’ala,
????????????? ???? ???????????? ???? ???? ?????????? ????????? ??????????
“Mereka bertanya kepadamu tentang hilal. Katakanlah: “Hilal itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.” (QS. Al Baqarah [2] : 189)
Juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
??????? ???????????? ? ???????????? ????????????
“Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya.” (HR. Bukhari [1810], Muslim [1081], At Tirmidzi [684], An Nasa’i [2117], Ibnu Majah [1655], Ahmad [2/497], Ad Darimi [1685])
Perbedaan ini terjadi karena perbedaan dalam memahami nash (dalil) dan bagaimana cara berargumen dengan dalil tersebut.
Berdasarkan hal di atas, Hay’ah Kibaril ‘Ulama melihat dan menimbang-nimbang kembali masalah ini. Perselisihan dalam masalah ini –kami anggap- tak ada ujung penyelesaiannya. Agama ini telah ada di muka bumi selama 14 abad lamanya, namun tidak kami ketahui satu waktu yang umat ini bersatu dalam ru’yah yang sama.
Oleh karena itu, anggota Majelis Hay’ah Kibaril ‘Ulama berpendapat bahwa perkara ini dikembalikan pada negeri masing-masing. Pembahasan perbedaan matholi’ hilal (region hilal) tidaklah berpengaruh di sini. Setiap Negara Islam memiliki kewenangan masing-masing, dibantu dengan nasihat (arahan) dari para ulama di negerinya. Jadi, setiap negeri memiliki cara dan standar dalam menentukan hal ini.
[Ketiga] Majelis Hay’ah Kibaril ‘Ulama juga telah memperbincangkan mengenai masalah penetapan hilal dengan hisab. Setelah menelaah Al Kitab dan As Sunnah serta perkataan ulama tentang masalah ini, mereka bersepakat menetapkan mengenai tidak teranggapnya hisab dalam penetapan hilal dalam masalah hukum. Hal ini berdasarkan sabda Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam,
??????? ???????????? ? ???????????? ????????????
“Berpuasalah karena melihat hilal dan berbukalah (berhari rayalah) karena melihatnya.” (HR. Bukhari [1810], Muslim [1081], At Tirmidzi [684], An Nasa’i [2117], Ibnu Majah [1655], Ahmad [2/497], Ad Darimi [1685])
Juga sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
??? ????????? ?????? ???????? ????? ?????????? ?????? ????????
“Janganlah berpuasa hingga kalian melihat hilal. Dan janganlah berbuka (berhari raya) hingga kalian melihatnya pula.” (HR. Muslim [1080], An Nasa’i [2122], Abu Daud [2320], Ibnu Majah [1654], Ahmad [2/5], Muwatho’ Malik [634], Ad Darimi [1684])
Semoga Allah memberikan taufik, shalawat dan salam kepada Nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.
Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Iftah